Cerpen Sebaiknya Menyuarakan Kondisi Sosial Masyarakat
›
Cerpen Sebaiknya Menyuarakan...
Iklan
Cerpen Sebaiknya Menyuarakan Kondisi Sosial Masyarakat
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebuah cerita pendek atau cerpen idealnya tidak hanya memuat tentang struktur narasi kepada pembaca. Lebih dari itu, cerpen sebagai salah satu karya sastra hendaknya juga memuat tentang kepekaan penulis terhadap kondisi sosial dan budaya pada masanya.
Cerpenis sekaligus peraih Penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas Triyanto Triwikromo mengatakan, karya sastra seperti cerpen tidak pernah turun dari langit. Kemunculannya bisa dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya di sekitar pengarangnya.
“Para ahli menyebut, karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya atau ruang vakum sejarah,” katanya di sela-sela kelas Kompas Institute “Penulisan Kreatif : Cerita Pendek" di Kompas Gramedia Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Triyanto menambahkan, untuk bisa peka terhadap kondisi sosial budaya, pengarang harus hidup di tengah masyarakat. Harus disadari bahwa pengarang bukanlah sosok eksklusif yang hidup di menara gading, melainkan harus masuk ke dalam ceruk peradaban.
Untuk bisa peka terhadap kondisi sosial budaya, pengarang harus hidup di tengah masyarakat
Selain kepekaan terhadap sosial budaya, menurut Triyanto, faktor ekstrinstik yang dapat mempengaruhi sebuah cerpen antara lain adalah riwayat, psikologis, norma dan ideologi yang dianut oleh pengarang. Semuanya, harus dipadukan dengan unsur instrinstik untuk menghasilkan sebuah cerpen yang baik.
Adapun, unsur instrinstik dalam cerpen yang akan membentuk struktur cerpen tersebut. Unsur tersebut misalnya plot, tokoh, sudut pandang, alur, latar dan lainnya. “Jika unsur instrinstik dan ekstrinstik itu bisa dipadukan dengan pas, cerpen yang baik akan muncul,” ujar Triyanto.
Pentingnya riset
Cerpenis dan Peneliti Sejarah Lulusan Universitas Leiden Belanda Raisa Kamila menjelaskan tentang pentingnya melakukan riset sejarah dalam penulisan cerpen. Dengan riset tersebut, pengarang bisa menunjukkan adanya kontradiksi dan alegori yang pernah terjadi.
“Kita bisa menunjukkan bahwa apa yang kita tulis sudah pernah terjadi pada masa lalu atau justru ingin menunjukkan perbedaannya,” katanya.
Selain itu, pentingnya riset dalam cerpen adalah untuk menunjukkan narasi alternatif dan sisi lain dari karya yang sudah ada sebelumnya. Riset sejarah juga diperlukan untuk memangkas keterbatasan informasi pengarang terhadap apa yang akan ditulis.
Terkait standar pemuatan cerpen di Harian Kompas, Mantan Jurnalis dan Redaktur Harian Kompas Bre Redana mengungkapkan tidak ada aturan baku yang ditetapkan. Cerpen yang dimuat setiap minggunya, sebelumnya melalui proses seleksi oleh tiga redaktur atau lebih.
Menurutnya, jika kriteria estetika dibakukan, niscaya kreatifitas pengarang akan berhenti. Padahal, karya sastra harus berdiri atas namanya sendiri, bukan melalui kriteria editor. “Setelah menulis, karya akan menjadi teks yang mandiri dan bicara atas namanya sendiri,” tegas Bre.
Kelas Kompas Institute “Penulisan Kreatif : Cerita Pendek" dilaksanakan pada 27-28 Juli 2019. Acara yang diikuti oleh 30 peserta tersebut menjadi salah satu dari rangkaian acara peringatan ulang tahun Kompas ke-54.
Kelas Kompas Institute “Penulisan Kreatif : Cerita Pendek" dilaksanakan pada 27-28 Juli 2019
Salah satu peserta, Fransisca Ripert rela datang dari Arles Prancis hanya untuk mengikuti kelas cerpen di Kompas Institut. Ia datang untuk mengkonsultasikan draf tulisan tentang cerita sejarah di tempat tinggalnya, Arles yang berisi sekitar 200 halaman.
“Sengaja saya ingin berkonsultasi langsung, karena kalau dikirimkan via surel, khawatir tidak terbaca,” ujarnya.
Peserta yang datang juga berasal dari latar belakang yang beragam. Mulai dari arsitek, staf Kementerian Kesehatan, staf marketing, siswi SMP hingga pelatih yoga.