Tak Bisa Lepas dari Kompas
Membaca Kompas sudah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari keseharian Liestianingsih Dwi Dayanti, pakar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Menikmati koran dengan oplah tertinggi di nusantara itu sudah dilakukan sejak masih usia sekolah dasar ketika tinggal di Plaju, Palembang, Sumatera Selatan.
Liestianingsih lahir di Yogyakarta pada 6 September 1956. Ayahandanya merupakan pegawai Pertamina yang ditampatkan di Plaju, Palembang, Sumatera Selatan. Sejak usia dini, Lies, begitu perempuan ini akrab disapa, tinggal bersama keluarga di Plaju.
“Keluarga berlangganan Kompas dan Intisari sejak 1967 di Palembang. Waktu itu, saya di kelas enam SD dan media yang ada di sana seingat saya hanya kepunyaan Kompas Gramedia,” ujarnya saat ditemui di kediamannya yang asri di Pondok Candra, Sidoarjo, Sabtu (22/6/2019) siang.
Lies masih ingat di Palembang saat itu Kompas dan produk KG lainnya yang menjadi langganan keluarga datang pada sore. Setelah ayahanda membaca koran, Lies yang kemudian membaca. Ia awalnya menyenangi gambar, iklan, kartun, dan berita ringan. Lies juga menyenangi membaca Intisari dan Bobo seusai puas membolak balik dan melihat Kompas.
“Kebiasaan itu terus berlanjut saat saya SMP dan SMA di Palembang,” kata Lies. Semakin bertambah usia, Lies kian asyik saat membaca Kompas dengan melahap berbagai rubrik yang ada. Sejak remaja, pilihan beritanya nyaris tak berubah yakni halaman depan dilanjutkan ke berita daerah (Nusantara) lalu humaniora (Pendidikan, Kebudayaan, dan Kesehatan), opini, internasional, dan kolom politik dan ekonomi.
Lies juga amat menggandrungi terbitan Kompas Minggu. Rubrik atau kolom psikologi, kesehatan, tak lepas dibacanya. “Dengan membaca Kompas, koran inilah yang menjadi inspirasi saya untuk melanjutkan pendidikan atau kuliah di Jogja,” katanya.
Lies juga amat menggandrungi terbitan Kompas Minggu. Rubrik atau kolom psikologi, kesehatan, tak lepas dibacanya
Selepas SMA, Lies mantap masuk dan diterima di Jurusan Publisistik (kini Departemen Ilmu Komunikasi) Universitas Gadjah Mada. Ia bercita-cita menjadi jurnalis khususnya Kompas. Di Kota Gudeg yang adalah bumi kelahirannya, Lies tinggal dengan keluarga kakak ayahanda. “Mereka juga berlangganan Kompas sehingga saya tak pernah putus membaca koran ini,” katanya.
Lulus dari UGM, Lies menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tiga tahun kemudian, Lies pindah ke Surabaya untuk membangun Departemen Ilmu Komunikasi Unair. Di jurusan ini, Lies berkumpul kembali dengan beberapa senior dan teman kuliah semasa di UGM antara lain guru besar Ilmu Komunikasi Prof Henry Subiakto dan Suko Widodo.
Baca juga : Harry dan Cerita Bersambung "Kompas"
“Sejak 1988 saya berada di Unair dan tetap melanjutkan kebiasaan membaca Kompas,” kata Lies. Ia tetap menjadi pelanggan setia Kompas karena meyakini koran ini tetap menjunjung tinggi prinsip jurnalistik yang baik. Meski berhati-hati, menurut Lies, pemberitaan Kompas punya akurasi tinggi, gaya bahasa, ejaan, rapi, dan alur penulisan yang enak dinikmati dan mampu mencerahkan.
Lies mengingat betapa menyukai kartun Om Pasikom karya Gerardus Mayela Sudarta yang menurutnya Kompas banget. Om Pasikom sejak kemunculannya puluhan tahun lalu, tetap lucu, kritik lembut, tetapi mengena dan berkesan. “Om Pasikom itu bagus sekali dan sayang belum ada penggantinya ya,” katanya.
Lies mengingat betapa menyukai kartun Om Pasikom karya Gerardus Mayela Sudarta yang menurutnya Kompas banget
Peristiwa yang membuat Lies berkesan dengan Kompas salah satunya pembredelan pada 1978. Lies ingat cemas karena tak ingin kehilangan koran idamannya. Selain itu, pembredelan beberapa media massa pada 1998. “Media massa khususnya Kompas turut mewarnai perjalanan politik penting negara ini,” ujarnya.
Baca juga : Kisah Mereka yang Setia Bersama Kompas
Selain itu, era booming media cetak pada 2000-2005, Lies tak tergoda untuk pindah ke lain hati. Baginya, Kompas adalah bacaan utama yang harus dinikmati setiap pagi bahkan menemani perjalanan hidup saat bekerja di kampus dan di rumah. Kolom Politik Budiarto Shambazy atau Subhan SD menjadi bacaan yang kerap menjadi bahan diskusi perkuliahan atau dengan rekan-rekan dosen di FISIP Unair.
Perubahan fisik Kompas dari lebih lebar ke mengecil dan hitam putih menjadi berwarna, menurut Lies, menjadi perjalanan yang tak bisa dicegah. Meski amat menyenangi tampilan klasik Kompas yang hitam putih, tetapi lama-kelamaan bisa menerima perwajahan dengan rona lebih kaya.
Lies berharap Kompas tetap dapat menjadi seperti slogan selama ini yakni Hati Nurani Rakyat. Prinsip jurnalistik harus teguh dilaksanakan. Harus tetap akurat, mengkaver segala sisi, mencerahkan, dan menghibur. Kompas tidak boleh larut dalam perubahan apalagi terjebak dalam gaya penulisan beberapa media saat ini yang senang mengutip narasumber tanpa verifikasi lapangan. “Jangan jadikan isu apalagi mengutip sesuatu di media sosial sebagai sumber. Kompas tetap harus menjadi dirinya,” katanya.
“Sayangnya, sekarang Kompas semakin tipis sedangkan saya belum terbiasa dengan produk digitalnya (Kompas.id),” ujar Lies. Meski demikian, Kompas diharapkan tetap hadir dalam kehidupan keluarganya. Anak-anaknya yang telah dewasa dan berkeluarga juga diharapkan meneruskan kebiasaan baik Lies membaca produk jurnalistik bermutu.