Masdik (78), pensiunan guru SMP di Yogyakarta, menjadi pelanggan harian Kompas sejak 1970. Salah satu yang membuatnya jatuh cinta pada Kompas adalah gaya pemberitaan yang santun dan tidak sensasional.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
Tumpukan kertas yang diikat dengan karet gelang itu berisi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Pada salah satu lembar, ada pertanyaan tentang nama hak yang dimiliki wartawan untuk menolak memberitahukan nama sumber beritanya. Di sampingnya, ada delapan kotak dengan huruf H di kotak pertama, K di kotak ketiga, dan O di kotak kelima.
Tumpukan kertas itu milik Masdik (78), pensiunan guru SMP di Yogyakarta. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang tertulis di tumpukan kertas tersebut berasal dari teka-teki silang pada salah satu edisi harian Kompas.
”Bapak itu suka ngerjakan teka-teki silang di Kompas. Kalau ada pertanyaan yang enggak bisa dijawab, dia tulis di kertas-kertas ini,” kata istri Masdik, Sri Kanti (73), saat ditemui di rumahnya di Desa Condongcatur, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (22/6/2019).
Masdik adalah pelanggan setia Kompas yang berlangganan koran tersebut sejak 49 tahun lalu. Dia pertama kali mengenal Kompas pada tahun 1970 saat menjadi guru di SMP Negeri 8 Yogyakarta. Saat itu, Masdik kerap mengunjungi toko koran yang berada tak jauh dari sekolah tempatnya mengajar.
”Awalnya saya baca beberapa koran di sana. Setelah baca-baca, ternyata yang menarik itu Kompas. Maka saya mulai langganan,” kata Masdik yang menjadi guru SMP sejak tahun 1965-2001 itu.
Mulanya, Masdik berlangganan Kompas di agen koran tak jauh dari SMP Negeri 8 Yogyakarta karena waktu itu ia tinggal di dekat sekolah itu. Namun, setelah pindah rumah ke Condongcatur pada tahun 1979, ia tetap berlangganan Kompas tetapi dari agen yang berbeda.
Hingga saat ini, Masdik telah berganti agen koran sebanyak empat kali. Namun, ia masih setia berlangganan Kompas.
”Banyak yang menawari untuk ganti langganan koran. Pernah juga saya terpaksa langganan koran lain selama satu bulan, tapi ya tetap langganan Kompas,” tutur pria yang dulu mengajar mata pelajaran Matematika dan Fisika itu.
Tidak sensasional
Menurut Masdik, salah satu yang membuatnya setia berlangganan Kompas adalah isi beritanya yang lengkap dan mencakup beragam bidang. Selain itu, gaya pemberitaan Kompas yang santun dan tidak sensasional juga menarik hati Masdik.
Masdik mengatakan, ada sejumlah rubrik di Kompas yang menjadi favoritnya, misalnya ilmu pengetahuan, ekonomi, pendidikan, dan politik. Saat membaca rubrik ekonomi beberapa waktu lalu, Masdik mengaku tertarik dengan berita tentang rendahnya ekspor produk-produk Indonesia.
”Ternyata Indonesia itu, kan, ekspornya rendah, lebih rendah dibandingkan Jerman yang penduduknya hanya sekitar 80 juta orang,” kata pria kelahiran 29 September 1941 itu.
Teka-teki Silang
Rubrik lain yang menjadi favorit Masdik adalah Teka-teki Silang. Selama bertahun-tahun, Masdik rutin mengisi teka-teka silang di Kompas. Bahkan, bapak tiga anak itu rela membeli sejumlah kamus, seperti kamus bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, dan Jepang untuk membantu mengerjakan teka-teki silang di Kompas.
”Saya suka ngisi teka-teki silang itu untuk melatih otak saya supaya enggak cepat pikun. Pernah dapat hadiah juga karena benar semua menjawab pertanyaannya,” ujar Masdik yang kini memiliki delapan cucu.
Masdik juga mengaku tertarik dengan berita-berita yang mengulas peristiwa-peristiwa masa lalu. Berita-berita yang ada di rubrik Arsip itu dinilai penting untuk mengingatkan masyarakat tentang ragam peristiwa penting di masa lalu.
”Ada berita lama yang dikeluarkan lagi untuk mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa yang lalu,” ujarnya.
Saat dimintai masukan untuk Kompas, Masdik mendorong para wartawan di surat kabar itu untuk terus meningkatkan pengetahuannya.