Belajar bertutur runtun dan terstruktur. Dua hal penting bagi Harry Prastawa (59), pelanggan asal Denpasar, Bali, yang didapatkannya selama 52 tahun setia membaca Harian Kompas.
Ia pun menyebarkannya kepada keluarganya, mahasiswanya, lingkungan pekerjaannya, dan siapa saja sebagai pelajaran kebaikan. Membaca Kompas bagi Harry, setara kenikmatannya menyeruput kopi pagi atau sepiring sarapan setiap harinya. Tak heran jika pria yang berprofesi sebagai notaris ini tak pernah memutus berlangganan Kompas sejak almarhum ayahnya, Ketut Melaya, dari tahun 1967.
“Dan, semoga sampai kapan pun itu… Kompas masih yang terbaik buat kami,” kata Harry penuh keramahan dengan ditemani istri, C Madraswara Widyanti (55), ketika ditemui di rumahnya, Sanur, Kota Denpasar, Senin (24/6/2019).
Ayah Harry, seorang hakim dan terakhir bertugas di Pengadilan Negeri Jember (Jawa Timur). Semasa hidupnya, ayahnya bersama ibunya, Ida Ayu Wirati, tak pernah lepas dari membaca Kompas dan diturunkan kepadanya serta saudara-saudaranya. Rumah dan tugas boleh berpindah-pindah, tetapi bacaan mereka tetap saja setiap pagi adalah Kompas dan tak tergantikan untuk itu.
Kakaknya, Widiastiti, selalu ingin menjadi pembaca pertama. Hal itu membuat Harry kerap kali berebut dengan Widiasti. Sekalipun kalah berebut, diam-diam, ia ikutan saja membaca dari balik punggung kakak.
Ternyata, keributan itu menurun kepada anak pertama mereka, Gita Bramanthya (26). Kalau adik Gita, lanjut Harry, Dinda Ratih Maharani (18), itu sudah memasuki era milenial. Ia sudah memanfaatkan Kompas.id.
Ketika 10 tahun mengajar di Kampus Universitas Udayana, Jurusan Teknik Pembuatan Akta Fakultas Hukum Universitas Udayana (2006-2016), Harry setengah memaksa mahasiswa untuk membaca Kompas. Alasannya, sederhana saja katanya, “Agar mereka (mahasiswa) terbiasa membaca literatur dan media yang berkualitas. Itu penting untuk membuat pemikiran menjadi ikut berkualitas,” tegasnya.
Selama mengobrol, ia mengupas bagaimana beruntungnya dirinya bersama istri, mengalami beragam era perjalanan media besar bernama Kompas. Bagaimana pun, zaman terus berkembang dan tak terelakan betapa pun kita melawan. Begitu pula Kompas, bagi Harry, mau tak mau harus menempuh ragam zaman apa pun termasuk era milenial ini.
“Luwes saja menghadapi pergantian era, tetap optimis dan bersahaja mengemban ananat hati nurani rakyat,” katanya dengan penuh harapan.
Luwes saja menghadapi pergantian era, tetap optimis dan bersahaja mengemban ananat hati nurani rakyat.
Cerita bersambung
Tiba-tiba, ia mengatakan,”Cerita bersambung! Nah, saya kehilangan cerita bersambung di era tahun 70-an sampai tahun 80-an. Keren itu cerita-cerita bersambung Kompas. Saya kliping semua ketika itu. Anak saya pun membacanya, terutama novel Musashi, karya Eiji Yoshikawa, yang dimuat di tahun 1983 sampai tahun 1984. Sayang, cerita bersambung yang berkualitas seperti zaman itu tidak lagi muat,” tuturnya.
Di sela-sela obrolan, cerita bersambung itu sangat melekat. Ia pun teringat kisah fiksi mengenai Miyamoto Musashi, pendekar samurai paling terkenal yang pernah hidup dalam cerita itu, ketika sekeluarga berlibur ke Jepang.
Cerita bersambung! Nah, saya kehilangan cerita bersambung di era tahun 70-an sampai tahun 80-an. Keren itu cerita-cerita bersambung Kompas. Saya kliping semua ketika itu.
Harian Kompas memang menjadi pertama kalinya memuat kisah pendekar samurai ini sebagai cerita bersambung. Tak hanya Musashi yang membekas diingatan Harry dan istri. Hampir semua cerita bersambung Kompas, mereka ingat betul. Yaitu, Badai Pasti Berlalu (karya Marga T), Karmila (Marga T), Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar), Rara Mendut (YB Mangunwijaya).
Melanjutkan soal cerita bersambung, ia mengusulkan agar Kompas menghidupkan lagi karya-karya sastra berkualitas. Menurutnya, cerita bersambung ini juga bisa menggairahkan orang untuk tetap setia kepada Kompas.
Saya tak pernah mempermasalahkan berapa pun sekarang jumlah halaman Kompas. Begitu pula, ia tak mempersoalkan masuknya Kompas di media daring premium, Kompas.id.
“Berapa pun halaman Kompas, di mana pun nama Kompas, selama Kompas konsisten menjaga amanah hati nurani rakyat, menjaga kualitas konten dan bahasa, saya tetap pembaca setia Kompas. Hanya saja, tetap dinamis lah menjalani perjalanan kehidupan dan saya percaya Kompas mampu untuk itu seperti 54 tahun yang telah berjalan ini. Terimakasih Kompas…,” ujarnya penuh semangat dan harapan mengakhiri obrolan Senin siang itu.