Pemerintah tengah mengidentifikasi kelompok milenial, yakni mereka yang lahir tahun 1980-2000, sebagai dasar penyusunan skema pembiayaan yang sesuai. Mereka dinilai mendominasi kebutuhan tempat tinggal atau hunian.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan tempat tinggal atau hunian saat ini didominasi oleh pekerja muda. Pemerintah tengah mengidentifikasi kelompok ini sebagai dasar penyusunan skema pembiayaan yang sesuai bagi mereka.
Dari riset Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), generasi milenial mengutamakan hunian berkualitas berupa apartemen atau hunian sewa di pusat kota yang terintegrasi dengan simpul transportasi umum dan memiliki akses internet.
Saat ini, kelompok masyarakat yang membutuhkan hunian adalah pekerja muda yang sering disebut generasi milenial. Mereka diidentifikasi sebagai generasi yang lahir tahun 1980 sampai 2000. Saat ini, jumlahnya sekitar 30 persen atau 81 juta jiwa dari total penduduk Indonesia dan akan terus bertambah ke depan.
Kelompok milenial diidentifikasi sebagai generasi yang lahir tahun 1980 sampai tahun 2000.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan skema pembiayaan bagi kelompok masyarakat yang disebut milenial. Dari identifikasi, pemerintah membaginya menjadi tiga kelompok berdasarkan rentang usia dan asumsi penghasilan.
Kelompok pertama adalah milenial pemula yang berusia 25-29 tahun. Mereka diasumsikan baru bekerja atau masih mencari pekerjaan dan belum menikah. Kelompok kedua adalah milenial berkembang dengan rentang usia 30-35 tahun dan sudah berkeluarga. Kelompok ketiga adalah mereka yang berusia di atas 35 tahun, sudah memiliki pekerjaan tetap, dengan kemampuan finansial lebih baik.
”Sekarang masih dalam pembahasan untuk mencari bentuk atau skema pembiayaannya (yang sesuai),” kata Khalawi, Kamis (27/6/2019), di Jakarta.
Mereka akan diarahkan untuk tinggal di hunian vertikal di perkotaan. Kelompok pertama dan kedua akan diarahkan ke hunian vertikal yang dekat dengan simpul transportasi. Bedanya adalah untuk kelompok kedua dengan ruangan atau kamar lebih dari satu. Sementara kelompok ketiga masuk ke mekanisme pasar.
Demi mewujudkan rencana itu, menurut Khalawi, pemerintah akan menggandeng banyak pihak. Pemerintah dapat memanfaatkan lahan milik negara atau pemerintah daerah untuk menyediakan hunian vertikal. Cara lain adalah kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) ataupun mendorong peran badan usaha milik negara (BUMN).
”Skemanya sedang kami godok bersama seluruh pemangku kepentingan yang tergabung dalam lima pilar, yakni akademisi, swasta, pakar, pemerhati, dan birokrasi,” ujar Khalawi.
Secara terpisah, pengajar dari Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung, M Jehansyah Siregar, berpandangan, solusi penyediaan hunian di perkotaan memang hanya dengan hunian vertikal yang kompak. Konsep berbasis transit (TOD) merupakan salah satu wujudnya.
Kelompok milenial yang diidentifikasi sebagai pekerja muda baik sudah berkeluarga maupun belum berkeluarga memang menjadi kelompok yang paling membutuhkan hunian di perkotaan. Konsep yang sesuai dengan kelompok tersebut adalah hunian sewa, bukan kepemilikan.
Kelompok milenial jangan dibebani dengan kepemilikan atau sebagai investor buyer.
”Mereka jangan dibebani dengan kepemilikan atau sebagai investor buyer, apalagi bagi masyarakat menengah ke bawah akan berat. Yang tepat adalah hunian sewa,” kata Jehansyah.
Meski demikian, pemerintah mesti memisahkan antara kebijakan perumahan rakyat dan kebijakan untuk mendorong bisnis properti. Pemerintah dapat menggunakan anggarannya untuk membangun rumah susun atau apartemen sewa sebanyak-banyaknya, bukan dengan memberikan subsidi sewa, kecuali bagi mereka yang benar-benar tidak mampu. Inilah yang disebut sebagai kebijakan perumahan rakyat. (NAD)