Kisah Mereka yang Tetap Setia
Verba volant, scripta manent. Apa yang terucap bisa lenyap, tetapi yang ditulis tetap abadi. Inilah kisah dari mereka yang masih setia membaca Kompas sepanjang usia harian ini.
Dokter Trisno Karmadji (75) masih mengingat Tajuk Rencana harian Kompas tanggal 6 Februari 1978 atau hari pertama setelah koran ini diperbolehkan terbit kembali setelah dibredel penguasa Orde Baru kala itu. "Saya masih ingat kalimat yang sangat menyentuh. Bunyi kalimatnya begini, \'kita mesti hidup dulu sebelum berfilsafat\'," kata Trisno.
Kutipan persisnya ada pada kalimat terakhir Tajuk Rencana hari itu. "Dengan gagah berani dan benar, orang bisa bilang hidup tidak hanya dari roti. Namun, ada juga ungkapan yang sama benarnya: orang perlu hidup lebih dulu untuk bisa berfilsafat."
Trisno membaca Kompas sejak 1965, tahun pertama kali terbit. Pada tahun 1971, ketika lulus dari universitas dan bekerja, Trisno ditempatkan di sebuah desa terpencil di Pacitan, Jawa Timur. Di wilayah itu, koran Kompas sama sekali tak dijumpai. Agar tetap ditemani harian Kompas, Trisno memilih berlangganan melalui pos selama bertugas di desa itu hingga tahun 1977.
"Satu minggu baru korannya tiba, dan itu menyebalkan karena saya tidak bisa baca setiap hari," katanya.
Kritis
Ingatan pula yang menjaga Yos Salam Surjadi (82) sangat kritis membaca Kompas. Berlangganan sejak 1965 membuat Yos yang tinggal di Jalan Gunung Sahari 8 Jakarta ini mengingat banyak peristiwa yang ditulis.
Masih ingat dalam benaknya, ketika wartawan Kompas mengulas bencana alam di Mentawai, Sumatra Barat. Dalam berita tersebut, Yos, menemui kesalahan penulisan tahun kejadian.
“Itu peristiwa besar tahun 2009. Ingatan saya paling membekas. Karena juga ada unsur kedekatan dengan saya, ada kedekatan emosi. Namun, dalam berita ditulis tahun 2010. Ini menjadi koreksi untuk wartawan dan editor agar lebih cermat. Jika ada berita terkait isu di Sumatera Barat saya suka dan bisa komplain kalau salah,” ujarnya tertawa.
Apa yang tertulis di harian Kompas membekas teramat dalam bagi banyak pembacanya. Idris Ilyas (76), pensiunan reserse di Polda Sumbar, mengingat banyak artikel Kompas yang turut membantunya melancarkan pekerjaan.
“Di reserse ekonomi, tugas saya menangani kasus yang berkaitan dengan keuangan, penyelundupan, kredit macet, penyalahgunaan kredit, dan sejenisnya. Artikel di Kompas cukup membantu untuk pekerjaan saya, terutama untuk menambah wawasan,” ujar Idris, di kediamannya, Berok, Gunung Pangilun, Padang.
Bahkan Idris mengaku lulus kuliah di Jurusan Ekonomi Perusahaan (sekarang Akuntansi), Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas, berkat berlangganan Kompas. Untuk lulus sidang sarjana, mahasiswa mesti menguasai isu-isu nasional dan internasional. Kompas dengan berbagai rubriknya menjadi rujukan saat itu.
“Para senior yang memperkenalkan saya dengan Kompas. Mereka baca Kompas karena sebagian besar isu-isu nasional dan internasional yang ditanyakan dosen penguji ada di Kompas. Saya pun disarankan mulai membaca Kompas untuk persiapan ujian,” kata Idris.
Keputusan Idris mengikuti saran seniornya tak sia-sia. Sekitar 25 persen bahan ujian sidang yang ditanyakan dosen bersumber dari Kompas. Wawasan yang diperoleh dari membaca turut andil melancarkan ujian. Pria asal Solok itu diwisuda tahun 1972.
Inspiratif
Mereka yang setia membaca Kompas sejak pertama kali terbit hingga sekarang, mengingat banyak rubrik yang mencerahkan cakrawala pengetahuannya. FX Wibisono (68) mulai membaca Kompas sejak 1966, saat usianya baru 15 tahun di kota tempatnya dibesarkan, Semarang Jawa Tengah.
Nyaris semua rubrik tak pernah dilewatkannya. Dari Tajuk Rencana, Surat kepada Redaksi, Internasional, Kilasan Kawat Sedunia, Profil Usaha, Opini hingga dan Sosok. Untuk rubrik terakhir, ia memberi perhatian khusus. "Sosok selalu menampilkan warga negara berprestasi, yang memberi motivasi dan semangat. Di tengah segala permasalahan yang ada di bangsa ini, ternyata masih ada orang-orang seperti yang ditampilkan di Sosok. Ini inspiratif," katanya.
Selain menjadi inspirasi, selama 54 tahun Kompas telah menjadi bagian dari keseharian hidup pembaca. Chauw Wen (80) pertama kali membaca Kompas di usia 29 tahun. Kini, matanya tak setajam dulu untuk membaca kata demi kata dalam lembaran koran.
Baca juga : Tak Bisa Lepas dari "Kompas"
Namun, dahaganya akan informasi tak sedikit pun memudar. “Membaca Kompas sudah menjadi kewajiban setiap pagi. Seperti ada yang kurang kalau tidak membacanya,” ujar Wen yang ditemui di bengkelnya, Jalan Sukajadi, Bandung.
Zaman berubah. Media cetak pun menghadapi tantangannya sendiri. Tempora mutatur et nos mutatur in illis. Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya. Dalam tiap perubahan itu, pembaca menjadi bagian penting Kompas.
Baca juga: Harian "Kompas" di Mata Pengambil Kebijakan
Untuk itulah, pesan Harry Prastawa (59), pelanggan asal Denpasar, Bali, yang sudah membaca Kompas sejak usia 7 tahun, menjadi penyemangat menghadapi tantangan zaman.
"Saya tak pernah mempermasalahkan berapa pun sekarang jumlah halaman Kompas. Selama konsisten menjaga amanat hati nurani rakyat, menjaga kualitas konten dan bahasa, saya tetap pembaca setia Kompas. Hanya saja, tetap dinamislah menjalani perjalanan kehidupan. Saya percaya Kompas mampu untuk itu seperti 54 tahun yang telah berjalan ini. Terima kasih.” (AYU/AYS/HRS/DIT/BRO/JOL/TAM)