Upaya pemulihan lahan kritis di daerah tangkapan air Danau Toba, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, yang mencapai 29.000 hektar terus dilakukan, salah satunya dengan penanaman macadamia.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
TARUTUNG, KOMPAS - Upaya pemulihan lahan kritis di daerah tangkapan air Danau Toba, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, yang mencapai 29.000 hektar terus dilakukan, salah satunya dengan penanaman macadamia. Pemulihan ekosistem Danau Toba tersebut sangat penting di tengah tekanan kerusakan lingkungan yang besar.
”Macadamia adalah tanaman kehutanan yang mempunyai fungsi konservasi dan menghasilkan buah yang mahal,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Kamis (27/6/2019), saat pencanangan tanaman macadamia untuk konservasi Danau Toba.
Pencanangan macadamia sebagai tanaman konservasi di kawasan Danau Toba itu merupakan rangkaian memperingati Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, dan sejumlah kepala daerah di kawasan Danau Toba turut hadir dalam acara yang digelar di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, itu.
Dari satu hektar macadamia, masyarakat bisa memanen buah senilai Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar per tahun.
Menurut Darmin, konservasi hutan harus sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa penyangga hutan. Hutan harus memberi manfaat ekonomi sehingga masyarakat turut menjaganya.
Konservasi daerah tangkapan air menjadi salah satu prioritas untuk mengurangi tekanan kerusakan lingkungan Danau Toba. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian LHK Hudoyo menyatakan, kerusakan daerah tangkapan air Danau Toba meliputi 259.700 hektar daratan dan 112.960 hektar perairan di tujuh kabupaten. Dari luasan itu, 29.000 hektar merupakan lahan kritis dan sangat kritis.
Kerusakan disebabkan perambahan, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, alang-alang, semak, dan permukiman. Luas kawasan hutan hanya berkisar 12 persen dari total daerah tangkapan air Danau Toba. Luasan itu jauh berkurang dibandingkan dengan tahun 1985 yang mencapai 28 persen dari daerah tangkapan air sebagaimana disebutkan dalam buku Gerakan Penyelamatan Danau Toba yang diterbitkan Kementerian LHK.
Selain untuk rehabilitasi lahan kritis, menurut Hudoyo, macadamia juga berpotensi menggantikan tanaman hortikultura di hulu daerah aliran sungai (DAS). Selama ini, tanaman yang mendominasi di hulu DAS adalah tanaman hortikultura yang tidak mempunyai fungsi ekologis.
Macadamia akan mulai berbuah dan memberikan hasil ekonomi kepada masyarakat setelah berumur enam tahun. Tanaman ini sudah lebih dulu dikembangkan di dataran tinggi Ijen, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, dan di Solok Selatan, Sumatera Barat.
Dari 1 hektar macadamia, masyarakat bisa memanen buah senilai Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar per tahun. ”Harga kacang macadamia siap konsumsi bisa mencapai Rp 500.000 per kilogram,” kata Hudoyo.
Sebelumnya, Siti Nurbaya mengatakan, untuk mengembangkan macadamia, Kementerian LHK membuat persemaian permanen produksi dan pengembangan macadamia di Huta Ginjang. Langkah itu ditempuh untuk mengatasi ketersediaan bibit macadamia yang minim.
Wilmar Simanjorang, pegiat lingkungan Danau Toba, mengatakan, dirinya sudah menanam macadamia di perbukitan Danau Toba di Samosir sejak empat tahun lalu. ”Saya sudah mengajak masyarakat setempat menanam pohon ini, tetapi belum ada yang mau karena belum melihat dampak ekonominya,” katanya.