Ada banyak suara yang menyatakan bahwa Bandara Kertajati adalah proyek sia-sia. Mau dijadikan apa pun, kalau tidak ada sarana penunjang, tentu akan sia-sia.
Oleh
Maria Clara Wresti
·4 menit baca
Bandara Kertajati yang pembangunannya diinisiasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu terus jadi perbincangan. Pemanfaatan bandara yang berkapasitas lebih besar dan lebih baik dari Bandara Husein Sastranegara itu belum optimal.
Awalnya, sejumlah maskapai bersedia melayani, seperti Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, AirAsia, Citilink, Lion Air, dan Xpress Air. Namun, akhirnya hanya Citilink Indonesia yang menerbanginya. Itu pun hanya sehari sekali dengan tujuan Kertajati-Surabaya.
Mundurnya maskapai-maskapai itu antara lain karena infrastruktur yang belum siap dan penumpang belum tumbuh. Infrastruktur terutama adalah Tol Cisumdawu yang tak kunjung selesai. Padahal, tanpa akses tol dari dan ke Bandung, Kertajati sulit dijangkau calon penumpang.
Ada banyak suara yang menyatakan bahwa pembangunan Bandara Kertajati adalah proyek sia-sia. Mau dijadikan apa pun, kalau tidak ada sarana penunjang, tentu akan sia-sia. Penumpang utama yang berasal dari Bandung dan sekitarnya tidak tertarik untuk menempuh perjalanan panjang dari dan ke bandara.
Pemprov Jabar kini menyerahkan pengelolaan Bandara Kertajati ke PT Angkasa Pura II (Persero) yang dinilai berpengalaman. Angkasa Pura II juga menyuntikkan dana. Intinya, Kertajati tak boleh ditinggalkan. Infrastruktur yang dibangun dengan anggaran Rp 2,6 triliun itu tak boleh jadi museum. Kertajati mesti mendatangkan kemakmuran bagi warga Jawa Barat dan Indonesia.
Pembangunan infrastruktur tidak akan sia-sia jika ekosistemnya terbentuk. Ekosistem mesti dibentuk bersama. Demi menumbuhkan manfaat itu, perlu dibedah faktor-faktor penumbuh ekosistem. Jika ingin menjadikan Kertajati sebagai embarkasi haji, misalnya, segera bangun asrama, hotel, atau akomodasi bagi kru maskapai dan petugas haji. Tanpa pendukung itu, maskapai penyelenggara haji tidak akan mau ke Kertajati.
Pembangunan infrastruktur tidak akan sia-sia jika ekosistemnya terbentuk.
Jangan sampai tertinggal dari Timor Leste yang membangun bandara senilai Rp 1,5 triliun. Bandara itu bisa menampung 500.000 penumpang setiap tahun. Pembangunan bandara itu tentu membuat tercengang. Sebab, tidak ada satu pun maskapai yang terbang ke daerah enclave Timor Leste yang berada di wilayah Nusa Tenggara Timur itu.
Akan tetapi, Zonias Especiais de Economia Social de Mercado (ZEESM) De Timor Leste, pengelola Distrik Oe-Cusse, itu tetap percaya diri. Presiden Oe Cusse, Mari Alkitiri, mengatakan, Bandara Internasional Rota do Sandalo akan menjadi gerbang pariwisata yang akan menjadi sumber devisa utamanya. Bahkan, sebuah hotel bintang lima sedang dibangun. Dia akan ke Hong Kong dan China untuk mengundang maskapai mereka datang ke Oe-Cusse.
Kabarnya, pariwisata yang akan dibangun, selain alam budaya, juga akan ada kasino di sana. ZEESM juga telah membangun jalan di sekitar bandara dan kota agar bandara itu bisa dijangkau dengan mudah. Dengan pembangunan infrastruktur yang tepat, sarana pendukung yang tepat, dan juga tujuan yang pasti, bisa jadi dalam waktu yang singkat Oe-Cusse akan menjadi kota yang pariwisatanya sangat maju. Pembangunan bandara juga tidak akan sia-sia.
Presiden Direktur Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin yakin Kertajati akan menjadi motor penggerak perekonomian, terutama wilayah Jabar bagian utara. Proses pengembangan Bandara Kertajati bukan hanya dari kacamata internal rate of return (IRR) atau tingkat pengembalian internal, tetapi juga menggunakan sudut pandang economic rate of return (ERR), sebab Bandara Kertajati bisa mendorong ekonomi masyarakat dan daerah sekitarnya.
Pemerintah daerah dan masyarakat Jabar tidak akan bisa menikmati manfaat yang lebih besar dari sektor pariwisata jika masih tetap mengandalkan Bandara Husein Sastranegara sebagai pintu masuk wisatawan. Bandara Husein sudah tidak bisa dikembangkan lagi. Bahkan, untuk menambah landasan jadi 2.200 meter saja, Angkasa Pura II harus menebang gunung, sementara di sana ada lapangan tembak TNI.
Menurut catatan Kementerian Perhubungan, sepanjang 2016-2018, jumlah penumpang di Bandara Husein Sastranegara tumbuh 6 persen menjadi 3,86 juta orang. Kargo tumbuh 40 persen menjadi 19,21 juta kilogram dan lalu lintas pesawat tumbuh 11 persen menjadi 31.865 pergerakan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, Husein Sastranegara dipastikan tidak lagi bisa menampung semua pertumbuhan itu. Jadi, mau tidak mau harus pindah bandara.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga sudah memutuskan untuk memindah sebagian rute domestik dari Husein Sastranegara ke Kertajati mulai 1 Juli 2019. Dinas Perhubungan Jawa Barat juga sudah menyediakan bus dan armada angkutan umum untuk melayani transportasi darat dari dan menuju Bandara Kertajati menuju Bandung, Cirebon, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Cikarang, Indramayu, Purwakarta, dan Sumedang. Ke depan, Kertajati juga akan digandengkan dengan Pelabuhan Patimban yang sedang dibangun pemerintah.
Suka atau tidak, relokasi penerbangan dari Husein Sastranegara ke Kertajati harus dilakukan. Dengan pemindahan ini, Jabar akan menjadi provinsi dengan kekuatan ekonomi yang superbesar. Oleh karena itu, jangan lagi mengembangkan wacana mubazir untuk infrastruktur yang sudah dibangun. Yang terpenting, bagaimana kita memanfaatkannya dan menjaganya. (M CLARA WRESTI)