Penangkapan Ikan Tak Ramah Lingkungan Jadi Tantangan di Kepulauan Togean
›
Penangkapan Ikan Tak Ramah...
Iklan
Penangkapan Ikan Tak Ramah Lingkungan Jadi Tantangan di Kepulauan Togean
Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, ditetapkan menjadi cagar biosfer dunia. Namun, kepulauan yang kaya keragaman hayati itu menghadapi persoalan penangkapan ikan tak ramah lingkungan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, ditetapkan menjadi cagar biosfer dunia. Namun, kepulauan yang kaya keragaman hayati itu menghadapi persoalan penangkapan ikan tak ramah lingkungan.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan dua cagar biosfer dunia baru milik Indonesia, yaitu Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah) dan Samota (Nusa Tenggara Barat). Penetapan itu dilakukan dalam sidang ke-31 International Coordinating Council of The Man and The Biosphere Programme UNESCO Meeting di Paris, Perancis, Rabu (19/6/2019).
Cagar biosfer merupakan kesatuan kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
Khusus untuk Kepulauan Togean, luas cagar biosfer ditetapkan 2,17 juta hektar, termasuk di dalamnya kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean yang seluas sekitar 300.000 hektar.
Kepulauan Togean terdiri atas 60 pulau, sekitar 20 pulau ada penghuninya. Pulau-palau tersebut dapat dijangkau dengan kapal motor dari Ampana, ibu kota Kabupaten Tojo Una-Una, selama 4 jam.
Kepulauan tersebut kaya akan keanekaragaman hayati. Laut Kepulauan Togean menjadi habitat terumbu karang berbagai bentuk yang merupakan bagian dari segitiga karang dunia. Tak hanya di laut dalam, karang berwarna-warni bertebaran di laut dangkal, seperti di Pulau Papan, Desa Kadoda, Kecamatan Talatako.
Kepulauan Togean juga kaya akan hutan ekosistem pesisir, seperti mangrove. Tercatat ada 33 jenis mangrove hidup di pesisir pulau-pulau di sana. Kepulauan itu juga ditinggali kera hitam sulawesi (Macaca togeansis) dan burung rangkong sulawesi (Aceros cassidix).
Namun, keindahan Kepulauan Togean, terutama kekayaan baharinya, terancam karena praktik yang tak ramah lingkungan dalam bentuk penangkapan ikan dengan bom, bius ataupun kompresor. Petugas Balai Besar Taman Nasional Kepulauan Togean dan Kepolisian Resor Tojo Una-Una sering meringkus nelayan yang menangkap ikan dengan bom. Terakhir, petugas balai menangkap seorang nelayan di Reef Tangkubi, Desa Patoyan, Kecamatan Batudaka.
Akibatnya, banyak karang rusak, bahkan mati. Lokasi penyelaman yang karangnya dulu bagus, saat ini telah rusak.
”Saat kami menawarkan paket wisata, banyak penyelam tahu karang lokasi-lokasi itu telah rusak. Atau yang belum tahu akan kecewa saat menyelam ternyata karangnya sudah rusak,” kata Daus, warga Pulau Papan yang juga pemandu lokal wisata penyelaman saat dihubungi dari Palu, Sulteng, Jumat (28/6/2019).
Saat kami menawarkan paket wisata, banyak penyelam tahu karang lokasi-lokasi itu telah rusak. Atau yang belum tahu akan kecewa saat menyelam ternyata karangnya sudah rusak.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Kepulauan Togean Bustang menyatakan, penetapan tersebut menguatkan komitmen pembangunan berkelanjutan di Kepulauan Togean. Semua pihak akan didorong untuk memastikan hal tersebut berjalan. Praktik-praktik yang tak ramah lingkungan akan terus diberantas.
”Kami membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk masyarakat di dalam kawasan,” katanya.
Menurut Manajer Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulteng Stevandi, penetapan itu tak boleh mengabaikan atau mempersempit ruang kelola masyarakat. Sebaliknya, masyarakat diberi akses untuk mencari penghidupan dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan atau kelestarian.
Adapun ancaman terhadap kehidupan bahari di Kepulauan Togean harus dipecahkan bersama. Warga harus diberi pemahaman utuh, selain penegakan hukum yang kontinu. Warga juga perlu diberi partisipasi aktif dalam mengelola wisata di Kepulauan Togean. Warga tidak boleh hanya menjadi penonton.
Dengan status taman nasional selama ini, akses warga terhadap sumber daya alam masih terbuka luas. Warga masih bisa berkebun di darat dan menangkap ikan di laut.