MK Memenangkan?
Selama sidang sengketa Pilpres 2019 di MK—terutama menjelang pengumuman keputusan MK—bermunculan pelbagai seruan dalam tulisan di berbagai media yang memakai kata menang atau memenangkan. Tepatkah penggunaan bahasa seruan pada konteks seperti itu? Apakah Mahkamah Konstitusi memang memiliki kekuasaan memenangkan salah satu capres?
Bukankah Mahkamah Konstitusi, yang baru mulai di negeri kita pada era kepresidenan SBY, hadir untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan konstitusi yang tidak teratasi di tingkat bawah?
Bukankah hasil sidang Mahkamah Konstitusi dalam kasus sengketa Pilpres 2019 hanya berupa keputusan sidang MK mengenai perjalanan gugatan yang diajukan oleh salah satu capres dan keputusannya hanya akan berupa diterima atau tidaknya gugatan itu? Perlu digarisbawahi: hanya ini dan tidak lebih dari ini? Keputusan yang akan diambil semata-mata berpijak pada hasil analisis pendapat termasuk kebenaran dan keakuratan data pendukung yang selama sidang sudah dibentangkan.
Keputusan apa pun yang akan disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi bukankah tidak bertujuan mengumumkan salah satu capres sebagai pemenang? Yang ini kan bukan wewenang Mahkamah Konstitusi?
Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang cermat dan tepat seyogianyalah tidak memunculkan kata menang atau memenangkan di dalam seruan-seruan menyangkut arah yang dituju MK dalam sidangnya.
B Kaswanti Purwo
Unika Atma Jaya
Nostalgia ”Kompas”
Tanggal 28 Juni 2O19, Kompas merayakan HUT ke-54. Sejak terbit pertama, saya sudah berlangganan, sementara dua tahun sebelumnya—saat bertugas sebagai Humas di Hotel Indonesia—saya berlangganan harian Indonesia Raya.
Dua pendirinya, almarhum PK Ojong dan Jakob Oetama, menakhodai perjalanan panjang harian ini dibantu para redaktur dan wartawan visioner yang berwawasan luas.
Saya terus berlangganan hingga kini. Saya senang membaca berita-berita dalam negeri dan internasional. Juga halaman I, Opini, dan Tajuk Rencana. Tulisan dalam Surat Kepada Redaksi selalu saya ikuti, apalagi saya juga sering berpartisipasi menulis.
Sebagai pejabat humas hotel bertaraf internasional, berlangganan Kompas sangat membantu karena memuat liputan aktual dan tepercaya. Teringat saya beberapa kali bertemu wartawan Kompas, Piet Warbung. Juga August Parengkuan di Amsterdam, Juli 1978. Saat itu, August sedang menunggu visa untuk bertugas di Angola, Afrika.
Sahabat saya wartawan Kompas, H Kodiat (almarhum), lama menangani berita-berita terkait pariwisata. Ia pernah memuat tulisan dan foto saya di Coffee Shop HI, dimuat di halaman belakang sekitar tahun 1970.
Saat saya ditugaskan pimpinan Departemen Pariwisata, Pos, Telekomunikasi di London, Inggris (1996-1998) sebagai Direktur Pusat Promosi Pariwisata Indonesia, saya berkenalan dengan mantan wartawan Kompas, Sastra Widjaja. Saat itu ia bertugas di BBC London.
Buku saya, Hotel Indonesia Pembangunannya Digagas Bung Karno, Cagar Budaya Bangsa Dibangun dengan Dana Pampasan Perang Jepang, diterbitkan Gramedia, 2014.
Gara-gara membaca buku saya di perpustakaan, wartawan Kompas, Dian Dewi, mewawancarai saya di Hotel Indonesia Kempinski dan tulisannya dimuat di Kompas, 11/2/2019, dengan judul ”Hotel Indonesia, Pembuktian Negara Baru”. Ternyata selama puluhan tahun ini saya bukan hanya menjadi pembaca, tetapi sekaligus juga mitra kerja harian Kompas.
Maka sebagai pembaca dan mitra Kompas, saya mengucapkan selamat ulang tahun kepada harian Kompas dan berterima kasih atas semua tulisan yang dihadirkan. Semoga Kompas terus menjadi penunjuk arah bangsa.
Arifin Pasaribu
Kompleks PTHII, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara