SOLO, KOMPAS - Kebijakan pemerintah dan pengusaha pembibitan ayam pedaging broiler di tengah anjloknya harga ayam di level peternak sudah ditetapkan. Namun, tetap saja terjadi gelombang tutup usaha karena merugi.
Di Jawa Tengah, setidaknya dua peternakan ayam ras pedaging skala besar atau di atar 100.000 ekor tutup di Klaten. Belum lagi skala kecil dengan jumlah ayam di bawa 10.000 ekor. Menutup usaha menjadi pilihan tak terhindarkan daripada terus merugi.
”Mereka yang sekarang masih bertahan itu hanya mengulur waktu dengan mengurangi populasi ayam yang dipelihara,” kata Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah Pardjuni di Solo, Kamis (27/6/2019).
Parjuni mengatakan, beberapa peternak ayam pedaging telah berhenti beternak untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat anjloknya harga jual ayam. Di tingkat peternak, harga ayam saat ini sekitar Rp 8.000 per kilogram, jauh di bawah harga pokok produksi (HPP) Rp 18.000-18.500 per kilogram.
Di Kartasura, Jateng, Ichsan (24), peternak mandiri ayam broiler juga menutup usahanya jelang Lebaran 2019. Itu lantaran harga ayam potong terus menurun selama tahun 2019. Sebanyak 6.000 ayam ia jual.
”Sejak dua tahun lalu harga ayam tidak stabil. Cuma masih nekat. Kapok saya,” katanya. Seluruh ayam dijual Rp 26.000 per ekor ke pengusaha nugget dengan laba sekitar Rp 1.000 per ekor. Di Yogyakarta, sejumlah peternak mandiri di Desa Patuk, Gunung Kidul, juga memilih menutup usaha untuk sementara. Kandang-kandang dibiarkan kosong. Mereka menunggu perkembangan pasar.
Para peternak yang rata-rata memelihara 3.000 ayam merasa berat melanjutkan usahanya karena dipastikan merugi. Menurut Supardal (47), peternak ayam, harga saat ini yang paling rendah. Para peternak mengalami tekanan harga jual di bawah HPP Rp 18.700 per kilogram dalam enam bulan terakhir. Harga di level peternak Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kg.
Di sisi lain, harga jual daging ayam di pasar masih berkisar Rp 18.000 per kg. Itulah yang membuat para peternak membagikan gratis puluhan ribu ayam hidup di Yogyakarta, Semarang, dan Solo pada Rabu. Sejumlah pihak menyebut, harga anjlok karena kelebihan produksi. Di Jateng, kebutuhan ayam per hari 1,2 juta hingga 1,3 juta ekor, sedangkan produksi 1,5 juta-1,7 juta ekor per hari. Hal itu dipicu kelebihan produksi ayam umur sehari (DOC).
Berbeda dengan peternak mandiri, Zaidin (46), warga Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, yang menjalin kemitraan dengan perusahaan peternakan swasta asal Semarang, menyatakan tidak khawatir harga ayam pedaging anjlok. Sebab, jika harga ayam turun, kerugian akan ditanggung pihak perusahaan. Peternak akan mendapat bagian tetap Rp 4.000 per ekor. ”Suplai pakan, obat, dan bibit ayam semua dari perusahaan. Kalau peternak itu tenaga kerja dan kandang,” katanya.
Panen mundur
Di Yogyakarta, sejumlah peternak ayam yang bermitra dengan perusahaan turut terdampak. Salah satunya masa panen jadi lebih lama karena ayam lebih sulit terjual. Kondisi itu, antara lain, menimpa sejumlah peternak kemitraan di Kabupaten Sleman. ”Masalah ini berdampak pada peternak kemitraan seperti kami,” kata Sukarmidi (53), peternak broiler di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem.
Pada kondisi normal, para peternak seperti dirinya biasa panen saat ayam berusia sekitar 35 hari. Saat jumlah stok ayam normal, ia bisa menjual habis 5.000 ayam sehari. Namun, karena stok ayam broiler hidup berlebih di pasar, serapan pasar melambat.
”Ada ayam yang baru bisa terjual setelah umur 40 sampai 45 hari,” ujar Sukarmidi. Akibatnya, biaya operasional yang harus ditanggung peternak bertambah besar. Selain itu, kondisi itu juga meningkatkan risiko ayam mengalami kematian atau sakit.
Sarjono (39), peternak kemitraan di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, juga harus mengalami masa panen lebih lama. Awal Juni 2019, ia panen sekitar 6.500 ayam miliknya pada umur 35 hari. ”Seharusnya selesai dipanen dalam waktu satu hari,” katanya.
Namun, karena stok ayam berlebih di pasar, ayam baru habis dalam empat hari. Mundurnya masa penjualan itu membuat ratusan ayam mati sehingga Sarjono rugi Rp 16 juta. ”Peternak lain bahkan ada yang baru panen setelah ayamnya berumur 50 sampai 60 hari,” ujarnya.