Kebakaran Hutan dan Lahan Ancam Riau, Jambi, dan Kalbar
›
Kebakaran Hutan dan Lahan...
Iklan
Kebakaran Hutan dan Lahan Ancam Riau, Jambi, dan Kalbar
Bencana kebakaran hutan dan lahan atau karhutla saat ini sedang mengancam sejumlah wilayah di Indonesia. Upaya pencegahan wajib ditingkatkan agar bencana kabut asap tidak terjadi.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bencana kebakaran hutan dan lahan atau karhutla saat ini sedang mengancam sejumlah wilayah di Indonesia. Upaya pencegahan wajib ditingkatkan agar bencana kabut asap tidak terjadi.
Deputi IV Penelitian dan Pengembangan Data Badan Restorasi Gambut (BRG) Haris Gunawan mengatakan, berdasarkan analisis mingguan pada 24-26 Juni 2019, ada tiga wilayah rawan karhutla. Ketiganya ialah Provinsi Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat.
”Tiga daerah itu adalah yang paling rawan dan harus mendapatkan perhatian serius agar tidak menjadi bencana kabut asap,” ujar Haris dalam Konferensi Pers Potensi Bencana di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta, Jumat (28/6/2019).
Berdasarkan pengalaman, menurut Haris, jika terjadi kebakaran di lahan gambut, pengendaliannya tidak akan bisa cepat. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pencegahan yang optimal. Dengan itu, BRG membentuk Operasi Pembasahan Gambut Rawan Kebakaran (OPGRK).
Pelaksanaan OPGRK yang difokuskan pada tiga daerah rawan tersebut mempertimbangkan beberapa indikator. Antara lain tinggi muka air yang kurang dari 0,4 meter selama 7 hari berturut-turut, tidak adanya hujan selama 7 hari berturut-turut, indikasi titik panas area dan indikasi rawan kebakaran berdasarkan pantauan cuaca.
Guru Besar Pedologi Lahan Basah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas menambahkan, kebakaran yang terjadi di lahan gambut dan lahan kering amat berbeda. Kebakaran di lahan gambut terjadi hingga muka air tanah, sedangkan lahan kering hanya sampai di permukaan.
”Itu sebabnya, muka air tanah di lahan gambut harus berada di batas 0,4 meter agar air tanah bisa naik secara kapiler,” katanya.
Salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan, menurut Azwar, adalah dengan menanam tanaman yang adaptif dengan kondisi basah. Upaya lainnya adalah mengembalikan fungsi alami gambut berkubah sebagai tandon air alami.
”Kebakaran itu ulah manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja,” katanya.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa puncak kemarau 2019 akan terjadi pada Agustus. Adapun sejumlah daerah juga telah mengalami hari tanpa hujan (HTH) selama lebih dari 60 hari. Bahkan, di Rambangaru, Sumba Timur dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami HTH sebanyak 96 hari.
Berdasarkan pemonitoran sebaran titik panas (hot spot) pada Juni 2019, BNPB mengidentifikasi beberapa daerah dengan titik panas terbanyak. Daerah tersebut antara lain NTT dengan 299 titik, Riau (187 titik), Nusa Tenggara Barat (145 titik), Kalimantan Selatan (128 titik), dan Jawa Timur (92 titik).
Kejadian bencana meningkat
Dalam kesempatan yang sama, Pelaksana Harian Direktur Kesiapsiagaan BNPB Bambang Surya Putra menyampaikan perbandingan kejadian bencana selama Januari-Mei 2019 dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Jumlah kejadian bencana selama 2019 sebanyak 1.901 kejadian, sementara 2018 sebanyak 1.640 kejadian. Artinya, ada peningkatan sebesar 15,9 persen. ”Ini menunjukkan bahwa bencana di Indonesia itu nyata,” ujar Bambang.
Adapun lima provinsi dengan kejadian bencana terbanyak selama Januari-Mei 2019 ialah Jawa Tengah dengan 569 kejadian, Jawa Barat (430 kejadian), Jawa Timur (262 kejadian), Sulawesi Selatan (85 kejadian), dan Kalimantan Selatan (66 kejadian).