”Umur saya 28 tahun saat Kompas pertama kali terbit tahun 1965. Sejak itu hingga saat ini, saya masih membaca dan berlangganan,” ujarnya saat ditemui di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat, Senin (24/6/2019).
Yos Salam Surjadi atau akrab disapa Opa Yos menceritakan, awal mula berkenalan dengan Kompas saat ia tinggal di Gunung Sahari 8, Jakarta Pusat. Setiap hari selalu ada orang yang tidak ia kenal memberikan koran Kompas secara gratis. Sampai kemudian seorang agen menawarinya untuk berlangganan.
Tidak pikir panjang, Opa Yos setuju untuk berlangganan karena ia menilai berita di Kompas menarik buat dirinya dan berbeda dengan surat kabar lainnya.
”Saya merasa baca Kompas enak dari segi bahasa, ulasan berita yang tidak nyentrik, dan mengedepankan logika bahasa dalam sebuah peristiwa. Yang juga menjadi perhatian saya, di tengah maraknya media dengan berbagai ulasan berita, Kompas berusaha tetap obyektif dalam menyampaikan peristiwa yang dibungkus melalui Tajuk Rencana dan berita. Tidak memenangkan satu pihak,” ujarnya.
Pria asal Payakumbuh, Sumatera Barat, yang merantau ke Jakarta tahun 1956 ini menilai, perlu sebuah media untuk memberikan narasi yang mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Oleh karena itu, kata Opa Yos, Kompas harus menjaga obyektivitas berita. Namun, perlu pula berani mengangkat isu atau peristiwa yang bersinggungan langsung kepada masyarakat.
Perlu sebuah media untuk memberikan narasi yang mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Selain itu, kata Opa Yos, yang membuat ia tetap setia berlangganan Kompas karena di tengah penyajian berita serius, seperti rublik politik, Kompas menyelipkan berita yang ringan dan menghibur, seperti Kompasiana dan karikatur atau komik Si Timun, Si Kribo, serta Beny dan Mice.
”Hal pertama yang saya buka adalah karikatur itu. Lucu dan menghibur. Namun, ada sebuah pesan yang tersampaikan. Sebuah kritik yang tidak perlu disampaikan secara serius. Itu penting,” katanya. Ia berharap karakter di karikatur terus dipertahankan dan tetap konsisten.
Kedekatan Opa Yos sebagai pelanggan dan pembaca membuatnya kritis terhadap berita yang ditulis awak Kompas. Masih ingat dalam benaknya ketika wartawan Kompas mengulas tentang bencana alam di Mentawai, Sumatera Barat.
Dalam berita tersebut, ia menemui kesalahan penulisan tahun kejadian. Ia lalu menghubungi pihak Kompas untuk mengoreksi kesalahan tersebut.
”Itu merupakan peristiwa besar tahun 2009. Itu ingatan saya paling membekas. Sebab, itu ada unsur kedekatan dengan saya, ada kedekatan emosi. Namun, dalam berita tersebut ditulis tahun 2010. Ini mungkin menjadi koreksian untuk wartawan dan editor agar lebih cermat. Jika ada berita terkait isu di Sumatera Barat, saya suka dan bisa komplain kalau salah,” tuturnya sembari tertawa kecil.
Terlepas dari hal tersebut, Opa Yos tetap percaya dengan integritas SDM (sumber daya manusia) Kompas. Hal ini terbukti secara langsung oleh matanya ketika ia sedang menangani sebuah kasus di pengadilan.
”Saat semua wartawan berburu uang setelah sidang, tiba-tiba wartawan Kompas menghilang. Mereka tidak mau ambil uang tersebut,” lanjutnya.
Kompas yang memiliki integritas dan nama besar, kata Opa Yos, justru bisa disalahgunakan oleh oknum untuk mencatut nama Kompas. Ini pernah terjadi ketika ia menangani kasus perusahaan asing asal China yang berada di Indonesia. ”Ada seorang wartawan menunjukkan ’identitas Kompas’. Saat itu, ia ingin memeras,” lanjutnya.
Tetap eksis
Opa Yos sadar jika halaman Kompas berkurang menjadi 24 halaman. Namun, hal tersebut bukan kendala untuk Kompas menyajikam berita berkualitas.
”Kompas punya perhitungan. Penting untuk Kompas terus bertahan meski saat ini Kompas makin tipis. Tak masalah, yang penting tetap memberikan berita yang berkualitas. Jangan sampai Kompas tetap mempertahankan 32 halaman justru malah merugi dan berakibat buruk untuk pembaca karena tidak terbit. Kompas masih menjadi referensi dan mempunyai pengaruh sebagai kontrol dan wadah untuk membangun bangsa,” katanya.
Saat semua wartawan berburu uang setelah sidang, tiba-tiba wartawan Kompas menghilang. Wartawan Kompas tidak mau ambil uang tersebut.
Sebagai seorang pelanggaan, hanya satu kekecewaan Opa Yos, yaitu tidak bisa mengoleksi koran Kompas terbitan awal karena beberapa kali pindah tempat tinggal sehingga koran itu hilang entah ke mana.
”Saya ingin baca lagi edisi pertama dan beberapa edisi selanjutnya. Saya lupa itu beritanya tentang apa. Selain itu, rasanya ingin sekali main lagi ke kantor Kompas. Apalagi melihat kinerja dapur redaksi,” ujarnya yang juga selalu berdiskusi kecil dengan keluarga terkait pemberitaan Kompas.