Brasil Mengusir “Paraguayazo”
Timnas Brasil mengusir fobianya atas Paraguay dengan menang lewat drama adu penalti di perempat final, Jumat (28/6/2019) pagi. Tim “Selecao” kini dinanti hantu lainnya pada laga semifinal di Belo Horizonte, pekan depan.
PORTO ALEGRE, JUMAT – Petir tidak pernah menyambar tempat yang sama dua kali. Namun, pepatah lama itu tidak berlaku bagi timnas Brasil yang disingkirkan dua kali secara beruntun oleh Paraguay melalui adu penalti di perempat final Copa America 2011 dan 2015 silam.
Ekspresi cemas dan grogi terlihat di wajah para fans maupun awak tim Brasil sesaat sebelum dilakukannya adu penalti kontra Paraguay pada perempat final Copa America 2019 di Arena Gremio, Porto Alegre. Tiket ke semifinal harus ditentukan dari titik 11 meter seusai tuan rumah Brasil bermain imbang 0-0, baik di waktu normal 90 menit plus babak ekstra 30 menit.
Mereka yang tidak tahan tekanan mental menyaksikan adu penalti itu lantas menutupi mukanya dengan tangan dan kausnya. Sebagian memilih membelakangi gawang. Lisya Oran, seorang pendukung Brasil, mematikan televisi dan melakukan ritual janggal. Ia mengeluarkan bukunya dan menggambar sketsa kiper Brasil, Alisson Becker, menyerupai tokoh protagonis di komik DC, Superman.
Kecemasan itu bisa dimaklumi. Brasil adalah favorit juara dan punya tradisi kuat di Copa America. Namun, anehnya, kehebatan mereka selalu sirna di tangan Paraguay, tim yang tampil sangat defensif dan juga sempat membuat frustasi Argentina di penyisihan grup, pekan lalu. Dua kali Brasil disingkirkan Paraguay di babak yang sama dengan cara serupa, yaitu adu penalti, pada Copa America Argentina 2011 dan Copa America Chile 2015.
Publik Brasil menyebut fobia itu dengan istilah “Paraguayazo”. Kecemasan itu kian menjadi-jadi karena di saat sama gelandang bertahan Casemiro absen. Brasil, di era pelatih Tite, hanya pernah kalah dua kali. Menariknya, dua kekalahan itu, yaitu dari Argentina dan Belgia, terjadi saat pemain klub Real Madrid itu absen membela “Selecao”, julukan timnas Brasil.
Hantu itu mulai menunjukkan wujudnya saat Roberto Firmino, yang ditunjuk sebagai algojo penalti keempat Brasil, gagal memasukkan bola ke gawang Paraguay. Namun, Brasil lebih siap ketimbang dua edisi Copa sebelumnya. Alisson Becker mengintimidasi Derlis Gonzalez sehingga eksekutor kelima Paraguay itu gagal mencetak gol. Pahlawan Liverpool FC di final Liga Champions Eropa itu sebelumnya “terbang” bak Superman untuk mengagalkan eksekusi bek Paraguay, Gustavo Gomez.
Ledakan kelegaan dan kegembiraan pun terpancar di kubu Brasil ketika Gabriel Jesus sukses menyarangkan bola sebagai penendang terakhir. Brasil mengusir “hantu” yang selama ini menjegal mereka meraih Copa America pertamanya sejak 2007 silam. “Rekan-rekan setim saya mengambil peran dan tanggung jawab dari keberhasilan (penalti) ini. Ini adalah langkah penting menuju target kami menjadi juara Amerika Selatan (Copa),” tutur Alisson.
Kemenangan Brasil di adu penalti itu bukanlah kebetulan. Menyadari agar kenangan buruk di 2011 dan 2015 tidak terulang, Cleber Xavier, asisten pelatih Brasil, mengungkapkan timnya telah berlatih penalti selama dua hari sebelum laga perempat final itu. Hasil latihan itu terbukti efektif, salah satunya dari keberhasilan Jesus mengeksekusi penalti. Ia kini tidak lagi grogi menendang penalti.
Pada laga sebelumnya, kontra Peru, Jesus gagal membuat gol dari penalti. “Pada laga terakhir itu saya tidak melihat kiper dan langsung menendang bola begitu saja. Hari ini, saya melakukannya seperti biasa. Dengan tenang, saya melihat kiper sebelum menendang. Ketika ia mulai bergerak ke kiri, saya menendangnya ke arah sebaliknya,” tutur Jesus seusai laga itu.
Masalah laten
Terlepas dari keberhasilan adu penalti itu, laga itu menyingkap masalah laten di tubuh Selecao. Meskipun diperkuat para penyerang kelas dunia seperti Jesus, Firmino, Willian, dan Everton Soares, Brasil kesulitan mendobrak pertahanan tim-tim defensif. Masalah itu terlihat pula pada laga kontra Venezuela dan Bolivia di penyisihan grup. Brasil ditahan Venezuela 0-0 dan baru bisa membuat gol pada babak kedua kontra Bolivia.
Tak heran, Selecao sempat disoraki suporternya sendiri di laga itu. Sulitnya mencetak gol itu ditengarai dipengaruhi faktor kehati-hatian Tite. Di Copa America 2019, Tite memilih lebih banyak pemain bertipe defensif, ketimbang ofensif, di skuadnya. Saat dikonfirmasi, Tite menimpakan kesalahan pada buruknya kondisi lapangan di Arena Gremio. “Sulit mengontrol bola di kondisi lapangan macam ini. Sungguh absurd hal ini terjadi di laga level tinggi seperti ini,” tukasnya.
Brasil perlu segera membenahi ketajaman serangannya di laga semifinal yang digelar Jumat pekan depan. Mereka akan dinanti pemenang laga Argentina kontra Venezuela, Sabtu dini hari WIB tadi. Semifinal ini akan digelar di Mineirao, Belo Horizonte, yaitu stadion yang menjadi “kuburan” Brasil kala dihancurkan Jerman 1-7 di semifinal Piala Dunia 2014, yang dikenal dengan tragedi Mineirazo. (AP/Reuters)