Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didesak untuk menerapkan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar nasional dalam perlindungan warga dari dampak buruk pencemaran udara.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didesak untuk menerapkan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar nasional dalam perlindungan warga dari dampak buruk pencemaran udara. Salah satunya lewat perbaikan standar pengukuran indeks kualitas udara.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, memperbaiki indeks standar pencemar udara menjadi lebih unggul dibandingkan berdasarkan peraturan pemerintah pusat akan jadi bukti komitmen gubernur melindungi warganya.
Pencemaran udara secara kasatmata sudah sangat parah, terbukti dari pekatnya kabut asap di langit Jakarta. Dampaknya antara lain memicu penyakit.
”Dengan melihat kondisi itu, seharusnya Pemprov DKI Jakarta tidak perlu menunggu pemerintah pusat. Kondisi di Jakarta menuntut adanya peraturan yang lebih ketat. Jika tidak, mereka yang tinggal di Jakarta tidak terlindungi,” ucap Puput, sapaan Ahmad, dalam jumpa media di kantor KPBB, Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2019).
Sebelumnya, AirVisual merilis data bahwa kualitas udara Jakarta berkategori sangat tidak sehat. Itu berdasarkan nilai indeks kualitas udara (AQI) Jakarta yang sebesar 240 pada Selasa (25/6/2019) pukul 08.00, dengan konsentrasi debu partikulat berukuran 2,5 mikron (PM 2.5) atau lebih kecil sebesar 189,9 mikrogram per meter kubik (µg/m3). Satu PM 2.5 setara sepertiga puluh ukuran satu helai rambut.
DKI menentang hasil pengukuran itu. Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Andono Warih, hasil pengukuran pihaknya pada hari Selasa lalu menunjukkan, indeks kualitas udara untuk seluruh wilayah Ibu Kota dalam kategori sedang, belum mencapai kategori tidak sehat.
Namun, pengukurannya mengikuti Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Parameter partikulat debu yang digunakan berukuran lebih besar, yaitu PM 10. Mengikuti standar ini, ISPU dalam kategori baik bernilai 0-51, sedang bernilai 51-101, tidak sehat 101-100, sangat tidak sehat 200-299, dan berbahaya 300-3.000.
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan DLH DKI Agung Pujo Winarko menambahkan, pihaknya siap memasukkan parameter PM 2.5 sebagai faktor penentu kualitas udara jika nantinya pemerintah pusat menyertakannya dalam ISPU, termasuk jika membuat kategori kualitas udara Jakarta yang biasanya sedang menjadi tidak sehat.
Puput mengatakan, sudah saatnya DKI memasukkan PM 2.5 dalam faktor penentu indeks kualitas udara, meski Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum merevisi keputusan tentang ISPU. PM 10 tidak lagi memadai untuk penentuan indeks.
AirVisual pun memprioritaskan data dari stasiun-stasiun yang mengukur parameter PM 2.5 mengingat parameter ini sudah diakui secara luas sebagai polutan paling berbahaya bagi kesehatan manusia.
Puput menjelaskan, debu berjenis PM 10, yang jika masuk ke hidung masih bisa tertahan di bulu hidung atau di lendir tenggorokan. Begitu bersin, debu keluar lagi.
Namun, jika PM 2.5 yang masuk, debu bisa langsung masuk ke alveolus di paru-paru. Sebagai bentuk respons, paru-paru akan mengeluarkan cairan untuk ”membilas” guna menyingkirkan benda asing itu. Jika udara dengan konsentrasi PM 2.5 tinggi masuk sistem pernapasan dalam durasi sekitar satu jam kemudian diganti dengan udara bersih, masalah tidak terlalu besar.
Namun, jika udara yang masuk sepanjang waktu membawa PM 2.5 dengan kadar tinggi, cairan paru-paru akan terus-menerus keluar sehingga alveolus kebanjiran. ”Ini yang namanya paru-paru basah atau pneumonia,” ujar Puput.
Selain itu, Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki meminta Pemprov DKI berani meninggalkan kebijakan-kebijakan yang populis jika dibutuhkan dalam mengatasi pencemaran udara.
”CFD (hari bebas kendaraan bermotor) awalnya merupakan kebijakan yang tidak populis,” katanya.
Alfred menekankan, uji emisi wajib hukumnya berdasarkan Peraturan Daerah DKI Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun, uji emisi hingga 14 tahun berselang sejak perda itu hadir dilaksanakan dengan berlandaskan kesukarelaan pengemudi saja. Tidak ada masalah bagi mereka yang tidak bersedia menguji emisi kendaraannya.
Keputusan pemprov dinanti untuk membuatnya jadi kewajiban sekaligus menetapkan sanksi bagi yang melanggar.