Energi Berbagi Juragan Roti
Mental baja bukan lahir dari puja-puji, melainkan dari beragam kecimus atau cercaan. Kecerdikan dan kejelian muncul setelah menghadapi berbagai rintangan, godaan, dan ancaman selama meniti jalur terjal ke puncak kewirausahaan.
Mental baja bukan lahir dari puja-puji, melainkan dari beragam cercaan dan cibiran. Kecerdikan dan kejelian seseorang bisa muncul setelah menghadapi berbagai rintangan, godaan, dan ancaman selama meniti jalur terjal ke puncak usaha. Tidak ada kata menyerah.
Mungkin ini rahasia sukses Sukardi, juragan roti dari Kampung Weru, Mojongapit, Jombang, Jawa Timur.
Pada 1999, Sukardi lulus dari SMA Negeri 5 Kediri. Terlahir di tengah keluarga yang secara ekonomi sulit, asa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi hanya bisa dipendam di dalam hati. Ia pun bekerja serabutan, mulai dari menjadi buruh bengkel kendaraan, buruh di perusahaan mebel, hingga menjadi buruh proyek bangunan.
Pada 2000, datang tawaran dari kakaknya untuk membantu mengembangkan bisnis roti di Jakarta. Kakaknya memiliki usaha roti dengan nama King Banana. Selanjutnya, selama 10 tahun, Sukardi membantu pengembangan usaha yang ternyata lumayan itu. Dari pengalaman itu, ia menjadi terampil membuat kue dan roti. Ia pun berangan-angan memiliki usaha sejenis.
Tak lama setelah menikah dengan Lisda Susanti pada 2011, Sukardi kembali ke Kediri, lalu menetap di Weru, kampung halaman istrinya. Saat itu, untuk menyambung hidup, Sukardi mencoba usaha makanan dan minuman, seperti bakso, soto ayam, dan mi ayam. Namun, setiap usaha itu tak berkembang.
”Saya memutuskan untuk mengembangkan bisnis roti seperti kakak di Jakarta,” ujar lelaki kelahiran Bandarkidul, Mojoroto, Kediri, 16 Juni 1982, itu.
Roti pisang
Pemikiran untuk membuat roti muncul, antara lain, terdorong tradisi masyarakat Jombang yang menyajikan roti dan kue untuk tamu di setiap acara syukuran, selamatan, atau pernikahan. Dengan keberadaan tradisi itu, masyarakat memerlukan pemasok kue dan roti. Kebetulan, saat itu jumlah usaha roti dan kue di Jombang bisa dihitung dengan jari tangan.
Dari kakaknya, Sukardi mendapat pinjaman modal kurang dari Rp 2 juta dan beribu-ribu lembar plastik kemasan King Banana. Sukardi mendapat lampu hijau dari kakaknya untuk mengembangkan roti King Banana di Jombang.
Ia pun memulai proses produksi dengan peralatan seadanya, seperti kompor bekas berjualan bakso, soto, dan mi ayam. Keterampilan saat bekerja serabutan di bengkel mebel dan bengkel las digunakan untuk memodifikasi meja, kursi, dan benda logam menjadi oven atau pemanggang tradisional.
Roti yang diproduksi Sukardi sama seperti namanya, King Banana, yakni roti pisang. Variasinya terbatas, yakni roti pisang manis, roti pisang keju, dan roti pisang cokelat. Kapasitas produksinya masih kecil, dengan jumlah kurang dari 100 buah per hari. Roti-roti itu dititipkan ke warung-warung dengan harga Rp 1.800 per buah.
Tak disangka, King Banana mendapat tempat di hati masyarakat. Produk ini kerap kali ludes dengan cepat karena dikenal murah dan rasanya bisa diterima masyarakat. Pesanan pun mulai mengalir.
Setelah tiga tahun berjalan, usaha rotinya kian berkembang. Sukardi mampu membeli pemanggang canggih, menambah kapasitas produksi, dan mempekerjakan orang. Produk dijual hingga ke Nganjuk, Mojokerto, dan Kediri. Variasi roti bertambah dan mengikuti tren, misalnya roti abon dan roti tempurung, dengan harga jual yang terjangkau.
Sejak 2016, Sukardi mengubah merek dagang menjadi Banana Bread Shop. Alasannya, Sukardi tidak ingin lancang terus-menerus memakai merek King Banana milik kakaknya.
Seiring perkembangan usahanya, Sukardi mengajak masyarakat di sekitar tempat tinggalnya untuk menjadi karyawan. Cukup banyak warga yang gemar mabuk minuman keras. ”Saya berharap kebiasaan buruk bisa dihilangkan dan citra kampung ini sebagai bekas lokalisasi luntur,” ujarnya.
Sukardi juga tak berhenti menantang karyawannya yang sudah terampil membuat roti dan kue untuk memiliki usaha sendiri. Ia juga tak pelit berbagi ilmu, modal, dan pendampingan. Kini, di kampungnya muncul usaha-usaha baru yang bervariasi.
Kini, Banana Bread Shop dikembangkan di dua tempat dengan 20 varian produk. Toko pusatnya ada di Jombang dengan 40 karyawan dan produksi harian 15.000-20.000 roti. Adapun toko di Kediri baru dioperasikan pada pertengahan 2018 dengan 13 karyawan dan produksi harian 2.500-5.000 roti.
Karyawan, terutama yang belum menikah, tinggal di semacam tempat tinggal bersama atau mes dan mendapat jatah makan tiga kali dalam sehari. Dengan cara itu, upah pekerja bisa utuh. Sukardi ingin karyawannya bisa menabung sekaligus mengumpulkan modal. Jika modal dirasa cukup, pegawai disarankan membuka usaha sehingga mandiri.
”Usaha berkembang, tetapi yang juga penting warga turut berkembang,” kata Sukardi.
Kualitas
Bagi Sukardi, belajar dari prinsip kakaknya, kualitas bahan baku roti adalah hal utama. Konsekuensinya, ongkos produksinya tinggi. Namun, hal itu bisa diatasi dengan mengutip keuntungan kecil. Roti produksi Sukardi dijual seharga Rp 2.400-Rp 3.500 per buah.
”Untung memang kecil, tetapi kalau jumlahnya banyak, ya, jadi besar toh,” ujarnya.
Strategi menekan biaya produksi diterapkan Sukardi dengan cara membeli bahan baku, seperti tepung, susu, mentega, dan telur, dalam jumlah besar.
Bagi Sukardi, resep yang tak kalah penting dalam berusaha adalah selalu memenuhi pesanan meskipun pemesan hanya memberikan uang muka saat memesan. Selain itu, keuntungan jangan hanya dinikmati sendiri, tetapi dijadikan energi untuk memberdayakan orang lain.