Nartosabdo, dalam konser di Taman Ismail Marzuki pada 1971, membawakan karya yang digarap dari berbagai gaya karawitan di Jawa, antara lain ”Kembang Glepang” yang bercengkok banyumasan. ”Tukang Cukur” dan ”Jula-Juli” yang bergaya jawatimuran. Juga sejumlah gending yang sampai hari ini masih populer dalam versi keroncong, yaitu ”Ojo Lamis”.
Ki Nartosabdo (1925-1985), sebagai layaknya dalang, adalah seniman serba bisa. Ia adalah dalang, komponis, dan pengrawit atau pemain gamelan. Sebagai komponis, seniman kelahiran Klaten, Jawa Tengah, ini banyak menyusun karya yang digunakan dalam pentas-pentas wayang kulitnya. Karyanya yang berjudul ”Praon”, misalnya, ditampilkan dalam album Goro-Goro atau dagelan para punakawan. Lagu ”Praon” yang kadang dikelirukan judulnya sebagai ”Prau Layar” sampai hari ini populer dalam berbagai versi, termasuk campursari.
Karya lain yang terkenal adalah ”Gambang Suling”, ”Ladrang Ibu Pertiwi”, dan ”Ketawang Subha Kastawa”. Sebagai komposer, Nartosabdo responsif pada realitas musik di sekitarnya. Ketika dangdut tengah populer pada era 1970-an, ia menggubah gending ”Ojo Dipleroki” dengan sentuhan rasa dangdut, terutama pada permainan kendang.
Frans Harjadi dari Dewa Kesenian Jakarta saat itu menilai, Nartosabdo sebagai seniman berusaha menjajaki kemungkinan-kemungkinan baru untuk perkembangan seni karawitan. Berbasis pada karawitan Jawa gaya Surakarta, Nartosabdo memperkaya repertoar karawitan dengan menyerap pengaruh musik, seperti Bali, Sunda, dan Madura. Bahkan, ia garap unsur musik yang sangat lokal, seperti gaya Kalibagoran, satu subwilayah kultural di Banyumas.
Sebagai pengrawit, Nartosabdo sangat menonjol sebagai pengendang atau pemain kendang. Ia adalah pengendang pada kelompok wayang orang Ngesti Pandawa, Semarang. Umar Kayam menjuluki Nartosabdo sebagai Gene Kruppa-nya Indonesia. Kruppa adalah pemain drum jazz era Swing asal Amerika Serikat. (XAR)