Ruang rentan untuk perempuan itu bernama dunia maya. Melalui gawai di tangannya, perempuan makin mudah menjadi korban kekerasan terutama kekerasan seksual. Dampak psikologis yang diakibatkan sama beratnya dengan tindak kekerasan yang dilakukan di dunia nyata. Sayangnya, hingga kini belum ada payung hukum yang kuat yang dapat melindungi perempuan di ranah siber.
Berdasarkan laporan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2019 yang dirilis Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, jumlah kekerasan siber meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Komnas Perempuan menerima 97 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dengan 125 jenis kekerasan siber. Padahal di tahun 2017, sudah ada 65 aduan dengan 95 jenis kekerasan siber. Artinya, selain jumlah aduan yang meningkat, korban juga makin banyak mendapat kekerasan dalam lebih dari satu jenis serangan siber.
Komnas Perempuan menerima 97 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dengan 125 jenis kekerasan siber.
Hingga saat ini, dari sejumlah aduan tersebut tindak kekerasan dapat dibedakan dalam sembilan jenis pelanggaran. Untuk kasus di Indonesia, dari kesembilan jenis tersebut, jenis balas dendam pornografi (revenge porn) menjadi yang terbanyak dengan persentase 33 persen aduan. Jenis pelanggaran ini dilakukan dengan memanfaatkan konten-konten pornografi korban lalu menyebarkannya di media sosial atas dasar balas dendam.
Terkait jenis kejahatan di atas, pelaku biasanya berasal dari lingkungan terdekat korban, seperti mantan kekasih atau suami. Hal ini dikuatkan temuan Komnas Perempuan yang mengungkap tidak kurang dari 61 persen aduan dengan pelaku dari orang dekat korban. Sementara sisanya (39 persen), berasal dari teman, kenalan, hingga orang yang tidak dikenal korban.
Menindaki kasus ini, Komnas Perempuan menemukan pola yang sama pada sebagian besar korban KtP siber. Sayangnya, kebanyakan korban baru melapor ke pihak berwenang saat mereka sudah menderita dalam jangka waktu yang lama, terutama dalam kasus pelaku adalah orang dekat. Meski demikian, bukan berarti pelaku yang berasal dari lingkup luar relasi korban menjadi hal yang remeh.
Celah Kejahatan Siber
Kekerasan siber setidaknya sudah mengemuka sejak lima tahun terakhir. Jenis dan bentuk kejahatan siber semakin beragam seiring perkembangan teknologi itu sendiri. Misalnya, dengan sedikit keterampilan saja, seseorang dapat dengan mudah menguntit hingga meretas akun media sosial korban berbekal fitur atau aplikasi yang ditemukan saat berseluncur di dunia maya.
Minimnya kesadaran pelaku maupun korban KtP siber tidak terlepas dari esensi media sosial itu sendiri. Youngjin Yoo, seorang profesor dan ahli komputasi menuliskan (dengan mengutip teori Martin Heiddeger), bahwa media sosial merupakan “ruang membagi” dunia pribadi ke ranah publik. Implikasinya, orang lain yang mendapatkan informasi apapun terkait diri kita di media sosial merasa bebas menjadikannya sebagai milik pribadi.
Kerangka berpikir inilah yang kemudian cair dalam sikap maupun kebiasaan para pengguna media sosial. Bahayanya, kemudahan yang disediakan media sosial digunakan untuk memuluskan aksi kejahatan, meski tidak disadari. Kemudahan yang dimaksud misalnya dalam pembuatan akun.
Satu orang pengguna dapat membuat lebih dari satu akun untuk digunakan di platform media sosial yang sama. Satu akun untuk identitas yang asli, sedangkan yang lainnya adalah akun fiktif dengan identitas yang tidak jelas atau anonim. Bahkan, bisa jadi semua akun yang dibuat beridentitas fiktif.
Anonimitas inilah yang menghadirkan potensi kejahatan. Masih merujuk pada CATAHU Komnas Perempuan, akun anonim seringkali digunakan untuk melakukan kesembilan jenis kejahatan KtP siber. Ketidakjelasan identitas pelaku menghambat penanganan dan penindakan KtP siber kendati tiap pendaftaran akun media sosial saat ini harus melewati syarat verifikasi melalui nomor telepon yang sudah diregistrasi dengan NIK.
Urgensitas Pengesahan Hukum
Salah satu solusi yang ditawarkan dalam menangani kasus KtP siber ialah dengan menggunakan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Akan tetapi dalam praktiknya, justru UU ITE yang masih seringkali mendulang pro dan kontra dari masyarakat ini, dapat menjadi bumerang bagi korban KtP siber. Perempuan korban bisa jadi justru menjadi korban untuk kedua kalinya.
Tahun lalu, tentu masyarakat cukup dikejutkan dengan kasus yang menjerat Baiq Nuril Maknun. Peristiwa KtP yang dialami Nuril sudah terjadi sejak 2012 silam oleh Muslim, mantan atasannya sendiri. Pelaku kerap merayu, menceritakan fantasi seksual hingga mengajak korban ke hotel via telepon namun selalu ditolak korban.
Jika mengacu pada jenis tindakan kekerasan siber, apa yang dilakukan Muslim terhadap Baiq Nuril masuk dalam kategori kekerasan, perundungan, dan pengusikan siber (cyber harrasment, bullying, spamming) serta pengiriman pesan seksual (sexting). Karena tidak nyaman dengan situasi tersebut, korban berinisiatif merekam perbincangan dengan pelaku melalui telepon genggam.
Selang dua tahun kemudian, rekan kerja korban mengambil rekaman asusila tersebut dan menyebarkannya di lingkungan sekolah dan Dinas Pendidikan hingga akhirnya pelaku dimutasi. Proses hukum selanjutnya menjadi rumit ketika mantan atasan Nuril balik melaporkan Nuril atas dasar pelanggaran UU ITE dengan tuduhan penyebaran rekaman telepon yang bermuatan asusila.
Putusan akhir Mahkamah Agung (MA) membuat publik terhenyak karena akhirnya pada 14 Desember 2018, MA menjatuhkan vonis 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta kepada Nuril atas pelanggaran UU ITE. Sementara itu, tindakan asusila yang dilakukan kepala sekolah tidak diusut.
Sejalan dengan peristiwa di atas, urgensitas pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) semakin dirasakan. Komnas Perempuan sudah mendesak lembaga legislatif untuk segera mengesahkan RUU PKS melalui berbagai kegiatan kampanye. Kampanye ini juga mendapat dukungan dari masyarakat.
Dalam RUU PKS tersebut, termuat enam elemen kunci dan prinsip hak asasi perempuan yakni pencegahan, hukum acara termasuk hak korban dan atau keluarganya, sembilan jenis tindak pidana, pemidanaan, pemantauan, dan pemulihan.
Komnas Perempuan bekerjasama dengan beberapa lembaga dan perusahaan berupaya untuk mendesak pengesahan RUU PKS. Tercatat lebih dari 127 kegiatan kampanye diselenggarakan oleh lebih dari 92 organisasi di berbagai wilayah di Indonesia. Namun hingga saat ini, belum ada perkembangan yang membangun optimisme akan segera selesainya RUU ini.
Menjelang berakhirnya masa kerja DPR periode 2014-2019 sekitar tiga bulan lagi, RUU PKS termasuk dalam 32 RUU yang masih dalam proses pembahasan tingkat pertama bersama pemerintah. Hingga pekan lalu (19/6), Pemerintah masih membuka wacana untuk kembali berdialog dengan elemen masyarakat terkait sejumlah isu yang ada dalam RUU PKS.
Kekerasan siber adalah pola baru dari kekerasan dalam ranah privat maupun publik. Oleh sebab itu, penanggulangan KtP siber harus dilakukan bersamaan dengan penanganan KtP di dunia nyata. Mawas diri dalam media sosial, penggiatan kampanye melek digital, maupun pengesahan RUU PKS sudah nampak semakin mendesak. (Yohanes Mega Hendarto/Litbang Kompas)