Sekitar 18 hektare hutan lindung bakau di Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, habis dibabat tanpa izin. Masyarakat nelayan khawatir daerah tangkapan ikan hilang karena laju kerusakan ekosistem pesisir bertambah cepat dan masif.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Sekitar 18 hektare hutan lindung bakau di Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, habis dibabat tanpa izin. Masyarakat nelayan khawatir daerah tangkapan ikan hilang karena laju kerusakan ekosistem pesisir bertambah cepat dan masif.
Salah satu nelayan, Cokro (50), Jumat (28/6/2019), mengatakan, pembabatan hutan bakau itu dimulai PT Kayla Alam Sentosa pada akhir Mei. Aksi protes yang dilakukan kelompok nelayan setempat tidak dihiraukan. Pengerjaan proyek untuk Kaveling Siap Bangun (KSB) masih dilanjutkan sampai sekarang.
“Hutan bakau itu rumah ikan belanak, lobster, rajungan, dan udang. Kami takut kalau bakau itu habis dirusak nanti ikannya mati dan nelayan enggak bisa cari makan,” kata Cokro.
Di lahan yang kini gundul itu, enam truk dan dua ekskavator lalu lalang meratakan tumpukan bakau untuk kemudian ditimbun. Wilayah yang sebelumnya digenangi air laut kini berubah menjadi daratan tanah merah. Beberapa warga menonton dari jauh sambil mengeluh tanpa bisa menghalangi.
Wilayah yang sebelumnya digenangi air laut kini berubah menjadi daratan tanah merah. Beberapa warga menonton dari jauh sambil mengeluh tanpa bisa menghalangi.
Pendiri Aliansi Budaya Mangrove, Feri Iriandi, mengatakan, hutan lindung bakau di Kampung Taman Yasmin Kebun yang luasnya mencapai 50 hektar. Wilayah itu sebelumnya direncanakan menjadi bagian deretan kawasan wisata bahari yang juga mencakup empat kampung lain, yaitu Sambau, Terih, Kelembak, dan Dapur Arang.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Batam, Ardiwinata, menyatakan, upaya swadaya warga memulai kegiatan wisata mandiri didukung Pemerintah Kota Batam. Kekayaan ekosistem hutan bakau tersebut dinilai sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi destinasi baru wisata bahari.
Cita-cita itu terancam pupus mengingat sebagian hutan bakau itu telah musnah. Kini yang tersisa hanya hamparan hitam batang bakau yang habis ditebang dan bentangan merah timbunan tanah untuk mereklamasi pesisir menjadi KSB.
“Setidaknya ada 300 keluarga nelayan yang berpotensi terdampak kerusakan itu. Kami ingin aktivitas itu segera dihentikan dan ekosistem yang rusak diperbaiki seperti semula,” ujar Feri.
Ilegal
Project Manager PT Kayla Alam Sentosa, Hidayat, Sabtu (29/6), menyatakan, proyek itu dilakukan bekerja sama dengan pemilik lahan yang memiliki Surat Alas Hak sebagai klaim atas lahan seluas 18 hektar tersebut. Izin proyek dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) saat ini dalam proses pengurusan.
Hidayat membenarkan. proyek KSB itu berada di kawasan hutan lindung bakau. Namun, ia berkeras tetap meneruskan pekerjaan tersebut. Menurut dia, ada puluhan perusahaan lain yang juga memiliki proyek di kawasan hutan lindung. Sampai saat ini mereka bebas beroperasi tanpa ditindak.
“Tujuan kami melakukan pekerjaan sosial untuk menata kawasan tersebut. Sejumlah 350 warga yang sekarang tinggal di rumah-rumah liar nantinya akan dipindahkan ke KSB,” kata Hidayat.
Lahan KSB seluas 18 hektar itu, nantinya selain dipasarkan untuk pembeli umum, sebagian akan diberikan pada warga sekitar dengan gratis. Setiap keluarga penghuni rumah liar di Kampung Taman Yasmin Kebun dijanjikan akan mendapat petak seluas 96 meter persegi.
Akan tetapi klaim itu dibantah Kepala Kantor Pengelolaan Lahan Badan Pengusahaan (BP) Batam Imam Bachroni. Menurut dia, BP Batam tidak lagi memberikan izin KSB sejak 2017. PT Kayla Alam Sentosa diketahui tidak memiliki izin untuk mengelola hutan lindung bakau sebagai tempat permukiman baru.
“Kami sudah berulang kali menyurati mereka karena tidak memiliki izin. Warga jangan mudah percaya terhadap tawaran hunian KSB murah di Batam,” kata Imam.