Jejak Kejayaanmu Dulu
Sejarah dan rempah-rempah adalah warisan Kota Ternate yang sangat berharga. Kota pulau ini juga dikelilingi pantai-pantai indah di sekitar kaki Gamalama.
Jejak kejayaan Ternate hingga kolonialisme bercokol di sana masih bisa ditemukan hingga kini. Benteng-benteng dan kedaton (istana raja) sebagian masih dalam kondisi cukup terawat.
Kota kecil ini pernah menjadi ibu kota Provinsi Maluku Utara sebelum dipindahkan ke Sofifi. Menurut Gunawan, orang lokal yang mendampingi kami selama di Ternate, kota pulau yang kelilingnya hanya mencapai 55 kilometer ini bisa rampung diputari dalam waktu sejam saja. Kami sendiri selesai menjelajahi beragam tempat wisata di Ternate sejak pagi hingga menjelang malam.
Di tengah-tengah Pulau Ternate berdiri menjulang Gunung Gamalama. Nama gunung api aktif ini berasal dari kata kie gam lamo (negeri yang besar). Diketahui pertama kali meletus pada tahun 1538, hingga kini sudah puluhan kali gunung ini meletus. Terakhir pada 2018.
Banteng Kastela menjadi penanda pertama kolonialisme di di kota ini. Mulai dibangun oleh Portugis tahun 1522 dengan nama Nuestra Senora del Rosario, orang Ternate lebih mengenalnya sebagai Benteng Kastela atau Benteng Gam Lamo. Keseluruhan proses pembangunan benteng itu memakan waktu 20 tahun.
Benteng yang berlokasi di Desa Kastela dan berjarak 13 kilometer dari pusat kota ini, sayangnya sebagian besar hancur. Hanya tersisa menara dan bastion serta bekas-bekas parit. Kira-kira 100 meter dari benteng terdapat Pantai Kastela yang terkenal akan keindahannya saat matahari terbenam.
Deretan pohon mangrove yang hampir mati, menjelma menjadi siluet yang fotogenik dengan latar langit jingga ungu saat langit cerah menjelang matahari terbenam. ”Dulu pantai ini penuh pohon mangrove. Beberapa tahun lalu, ada minyak tumpah dari kapal tanker. Pohon-pohon mangrove mati, sisanya hanya itu,” kata seorang warga berkisah tentang deretan pohon mangrove tersebut.
Selain Benteng Kastela, masih banyak benteng lain di Ternate, seperti Benteng Tolucco, Fort Oranje, Kalamata, Kota Janji, Santosa, Talangame, dan Takome. Benteng Tolucco atau Toluko termasuk benteng yang cukup terawat.
Terletak di atas perbukitan, dari atas Benteng Toluko, kita bisa melihat pemandangan Kota Ternate serta pemandangan laut dengan latar belakang Pulau Halmahera, Tidore, dan Maitara.
Dibangun tahun 1540 oleh Portugis, benteng yang terletak di Kelurahan Dufa-dufa, di utara pusat Kota Ternate ini, hanya berjarak 2 kilometer dari Kedaton Ternate. Diperkirakan, benteng dimanfaatkan untuk memata-matai aktivitas sultan. Benteng yang juga bernama Benteng Holandia atau Santo Lucaz ini ketika dikuasai oleh Belanda sempat direnovasi pada tahun 1610.
Kadaton atau Kedaton Ternate merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Ternate yang kini berfungsi sebagai kediaman sultan dan keluarganya. Bangunan kedaton yang mengambil gaya Eropa ini dibangun tahun 1813 di atas bekas istana yang sudah ada sejak abad ke-17.
Koleksi asli dan terbanyak tentu saja ada di dalam Kedaton. Pengunjung dibolehkan masuk setelah meminta izin. Abdullah (63), pegawai kedaton, akan menemani tamu melihat-lihat koleksi yang masih ada, seperti piring dan guci kuno, foto, lukisan, dan silsilah sultan, senjata, tameng, cermin, perabot, dan lainnya. Sebagian besar merupakan cendera mata dari berbagai kerajaan sahabat. Dari balkon istana, kita bisa melihat sebagian pusat kota, termasuk Masjid Sigi Lamo (masjid kesultanan) dan laut lepas.
Cengkeh tertua
Benteng lain yang bangunannya tampak relatif utuh adalah Benteng Kalamata. Namun, sebagian besar bangunan merupakan hasil pemugaran. Tampak tambalan semen di sana-sini. Benteng peninggalan Portugis ini berlokasi di bibir pantai, tepatnya di Jalan Kalamata, Kelurahan Bastiong. Benteng ini memiliki empat bastion dengan beberapa lubang bidik. Di bagian dalamnya terdapat tangga dan sumur.
Benteng paling besar adalah Fort Oranje yang paling banyak dikunjungi karena terletak di tengah kota. Meski demikian, benteng ini juga tidak tampak sepenuhnya terawat. Benteng yang mengingatkan pada Fort Rotterdam di Makassar ini dibangun Belanda pada 1607.
Benteng ini dulunya merupakan benteng tua yang dibangun orang-orang Melayu sehingga pada awalnya dinamakan Benteng Malayu. Benteng Oranje sempat menjadi markas besar VOC sebelum dipindahkan ke Batavia oleh Gubernur JP Coen.
Setelah menyaksikan berbagai benteng, jangan sampai ketinggalan menengok cengkeh afo, pohon cengkeh tertua di Ternate. Pohon yang bunganya telah mendorong orang-orang dari ”benua biru” nekat mengelilingi separuh lingkar bumi itu berada di Tongole, Ternate Tengah, 15 menit bermobil dari pusat kota.
Afo dalam bahasa setempat berarti pohon besar atau tua. Dari tiga pohon, kini hanya tersisa dua pohon yang usianya 200-250 tahun. Pohon tertua sudah mati beberapa tahun lalu pada usia 416 tahun. Tumbuh di lereng Gunung Gamalama, kita harus mendaki untuk menyaksikan pohon yang lingkarnya hampir mencapai 4 meter itu. Kawasan ini sudah didandani dengan menghadirkan saung-saung dan rumah makan bambu.
Jejak sejarah
Pada abad pertengahan, rempah-rempah adalah komoditas bernilai sangat tinggi, bahkan melampaui nilai emas. Tidak heran, jika Ternate sebagai penghasil rempah-rempah dicari-cari para pedagang dan petualang dari berbagai belahan dunia. Pada masa itu, pulau kecil di utara kepulauan Maluku ini sudah menjadi pelabuhan dagang internasional.
Rempah digunakan untuk mengawetkan makanan, selain memberi variasi cita rasa pada masakan. Pala, lada, kayu manis, cengkeh, dan aneka rempah lainnya juga digunakan sebagai bahan obat, parfum, dan dipakai dalam ritual keagamaan.
Orang-orang Eropa mengenal rempah-rempah dari pedagang Arab dan Timur Tengah yang lebih dulu menguasai perdagangan dengan Asia. Perdagangan rempah di Eropa saat itu masih sebatas dikuasai para pedagang besar dan orang kaya dari Genoa dan Venesia, Italia, yang membelinya dari pedagang-pedagang di Alexandria, Mesir, dan Antioch di Suriah.
Rempahnya berasal dari India, selain dari kepulauan yang mereka sebut Kepulauan Rempah. Orang Eropa menyebutnya Indies. Belakangan, para petualang dari Eropa yang diawali Portugis berhasil menemukan Maluku, termasuk Ternate, pulau rempah yang menjadi sumber harta karun yang mereka cari-cari. Menyusul Portugis, datang Spanyol, Inggris, dan Belanda.
Sejak era kepemimpinan Kolano (Raja) Sida Arif Malamo (1322-1331), Pelabuhan Talangame di Ternate telah menjadi bandar dagang utama di Maluku yang didatangi para pedagang dari China, Arab, dan Gujarat, selain pedagang dari Jawa, Malaka, dan Makassar, seperti disebutkan dalam buku Ternate, Mozaik Kota Pusaka karya M Sofyan Daud.
Talangame kemudian dikenal sebagai Pelabuhan Bastiong hingga kini. Bastiong kini hanyalah pelabuhan kecil yang disinggahi kapal-kapal bertonase kecil dan sedang, perahu motor, kapal cepat, dan feri yang melayani transportasi antarpulau di kawasan tersebut.
Kedatangan pedagang Eropa diterima dengan baik di Ternate seperti halnya pedagang lainnya. Pada awalnya, mereka berdagang secara wajar. Cengkeh dan pala menjadi primadona karena saat itu hanya dihasilkan di Maluku.
Meski rempah-rempah yang dibawa dari Ternate memberi keuntungan hingga 400 persen, para pedagang Eropa tidak merasa puas. Mereka ingin keuntungan lebih besar lalu berusaha menguasai perdagangan rempah di Maluku, termasuk Ternate.
Berbagai peninggalan bersejarah terkait kedatangan awal bangsa-bangsa Eropa di Nusantara terserak di Ternate. Belum lagi, keindahan pantai dan alamnya. Sayangnya, pengelolaan kekayaan wisata ini masih ala kadarnya dan perlu pengayaan narasi. Dengan begitu, potensi pariwisata bisa menjadi andalan Ternate berikutnya, menggantikan rempah-rempah.