Jalur Kereta Api pengangkut dari China, yang terpusat di Stasiun KA kota Xi\'an, provinsi Shaanxi, ibarat membelah Eropa. Sejak Presiden China Xi Jinping mendeklarasikan Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Inisiative (BRI) pada 2013, Negeri Tirai Bambu menggagas jalur KA pengangkut China-Eropa dan China-Asia Tengah. Volume ekspor-impor terdongkrak melalui jaringan infrastruktur tersebut, terutama dalam tiga tahun terakhir.
Kini, berbasis di Stasiun Xi\'an, China memiliki lima jalur KA pengangkut, dari dan ke Eropa serta Asia Tengah. Jalur-jalur itu meliputi Xi\'an-Hamburg/Duisburg di Jerman, Xi\'an-Kouvola/Helsinki/St Petersburg yang melintasi Finlandia dan Rusia, serta Xi\'an menuju ibu kota Hongaria, Budapest. Dua jalur lain yakni Xi\'an-Kouvola (Finlandia), dan Xi\'an-Poznan (Polandia). Total, ada 24 kota di lebih dari delapan negara Asia dan Eropa, yang terhubung oleh jaringan rel kereta pengangkut China.
Feng Meiyu, juru bicara manajemen China Railway Express mengungkapkan, perlu proses panjang untuk membangun jaringan rel kereta pengangkut antar negara. Yang pertama, jaringan infrastruktur itu tentu harus dilandasi kerja sama bilateral, bahkan multilateral, antara China dengan negara-negara terkait. Perjanjian itu juga perlu proses diplomasi yang panjang, karena perlu meyakinkan negara-negara terkait akan kapabilitas China dalam proyek infrastruktur tersebut.
Faktor kedua, lanjut Feng, adalah faktor-faktor teknis. Misalnya, jenis dan bentuk rel yang berbeda antara rel di China dengan negara terkait. “Pengerjaan proyek-proyek teknis ini juga perlu waktu, tenaga dan biaya. Puluhan kali delegasi China datang ke negara tujuan kerja sama, untuk memastikan rencana pembangunan rel kereta pengangkut itu, dari sisi proyek layak dilanjutkan,” ujar Feng.
Kini, enam kali dalam sepekan kereta pengangkut berjalan mengangkut komoditi ekspor China, ke kota Hamburg di Jerman. Komoditi ekspor dari China itu, antara lain, meliputi bahan-bahan tekstil, sepatu, serta peralatan dan komponen mesin. Adapun dari Eropa, China mengimpor mobil dari Jerman, dengan frekuensi sekali perjalanan dari Hamburg ke Xi’an dalam sepekan.
“Dalam skala mikro, seiring kerja sama perkereta-apian China-Eropa, jumlah perusahaan China yang beroperasi di kota Duisburg, Jerman, juga melonjak seiring geliat ekonomi tersebut. Pada 2014, tercatat hanya 40 perusahaan China di Duisburg. Kini, jumlahnya lebih dari 100 perusahaan,” kata Guru Besar Ekonomi dari China Foreign Affairs University (CFAU), Fan Ying.
Komoditi-komoditi impor lain yang didatangkan ke China, melalui jalur kereta pengangkut China-Eropa dan China-Asia Tengah, di antaranya gandum dari Kazakhstan, kacang hijau dari Uzbekistan, dan minyak goreng dari negara-negara Asia Tengah. Dengan aktivitas ini, volume ekspor-impor dari Shaanxi dengan negara-negara mitra dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan, pada 2018 mencapai 38,926 miliar yuan, atau sekitar Rp 80 triliun. Volume itu meningkat 20,4 persen daripada 2017.
Data Dinas Perdagangan Pemerintah Provinsi Shaanxi menyebutkan, 44 perusahaan di Shaanxi mendapatkan investasi dari negara-negara mitra Inisiatif Sabuk dan Jalan, dengan total investasi senilai 187 juta dollar AS (Rp 2,6 triliun). “Adapun total akumulasi investasi mencapai 30 miliar dollar Amerika Serikat. Banyak yang mengira ini jebakan hutang yang dirancang China. Itu sama sekali tidak benar. Karena dana itu berasal dari akumulasi finansial China dalam beberapa dekade terakhir," ujar Fan Ying lagi.
Berkat Inisiatif Sabuk dan Jalan ini, persentase ekspor China di seantero dunia meningkat, sesuai data perbandingan ekspor 2002 berbanding 2017. Pada 2002 ekspor China hanya 4 persen dari total ekspor dunia, sedangkan ekspor AS mencapai 28 persen. Namun, sesuai data 2017, seperti diungkapkan Fan Ying, persentase ekspor China naik menjadi 11 persen, adapun AS turun ke 21 persen.
Memicu ketegangan
Geliat ekonomi China di dunia internasional itu, yang sekaligus menjadi representasi menguatnya pengaruh China di kancah politik dunia, menjadi salah satu pemicu ketegangan dengan AS. “Negeri Paman Sam” yang dipimpin Presiden Donald Trump, belakangan mengenakan tarif 25 persen terhadap barang-barang impor China. Pemberlakukan tarif oleh AS itu dibalas China dengan penerapan tarif senilai setara terhadap ekspor AS ke China.
Tak heran, belakangan ketegangan politik AS-China menghangat, dengan isu perang dagang yang memicu polemik internasional. Goncangan-goncangan akibat ketegangan hubungan dua raksasa dunia ini, dicemaskan banyak negara lain, yang ekonominya rentan terimbas. Termasuk, Indonesia.
Zhao Huaipu, Guru Besar Hubungan Internasional CFAU memaparkan, meski fundamental ekonomi China tergolong kuat, mereka tidak akan sembarangan bersikap, karena menyadari bakal berdampak besar terhadap yang lain. Menurut Zhao, stabilitas politik dan ekonomi di Asia Timur, di mana China berada, serta di negara-negara yang berbatasan dengan China, sangat penting. "Karena itu, China selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya, jika itu menyangkut negara lain," ujarnya.
Dicontohkannya, seputar perbatasan dengan negara tetangga, dari 14 negara yang berbatasan dengan China, sejauh ini hanya tersisa problem perbatasan dengan dua negara. Kedua negara itu tak lain India dan Bhutan. China, lanjut Zhao, ingin problem perbatasan itu segera berakhir, karena tuntasnya satu masalah akan mencegah munculnya masalah lain.
"Disadari juga, sekarang terjadi pergeseran kekuatan ekonomi dunia, dengan munculnya beberapa negara dengan performa ekonomi yang membaik. Sebut saja Brasil, India, dan juga Indonesia. Sehingga China juga tidak bisa bertindak, tanpa perhitungan yang cermat," tambah Zhao.
Sedikit saja salah melangkah, lanjut Zhao, maka bisa berdampak krisis, dan itu akan menjadi krisis trans-nasionalisme. Mengingat, globalisasi tak hanya berbuah kesempatan atau peluang, tetapi juga membawa risiko.
China, masih menurut Zhao, berusaha disiplin dengan lima prinsip hidup berdampingan secara damai. Kelimanya yakni, saling menghormati, sama-sama tidak melakukan agresi, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara, menjamin kerja sama dan persamaan demi keuntungan bersama, serta hasrat berdampingan secara damai. “Sehingga, China tetap terbuka terhadap dialog dengan AS terkait berbagai masalah, termasuk isu perang dagang,” ujarnya.