Rumah Ibu
Malam kedelapan tidak ada lagi rombongan takziah datang ke rumah, menyampaikan rasa ikut berduka serta ikut menyumbang doa untuk almarhum bapak yang baru saja pergi meninggalkan dunia fana dalam usianya kedelapan puluh. Suasana senja di rumah besar itu menjelang makan malam terasa makin sendu, terutama bagi ibu yang kehilangan bapak ketika usianya tujuh puluh lima. Senja masih menyisakan warna jingga di langit barat kota.
Aina, anak ketiga yang bungsu sibuk menyuap makanan ke mulut putra kecilnya yang baru berusia empat tahun. Ari, suami Aina sudah kembali beserta dua orang anaknya ke kota Bandung setelah bapak dua hari dimakamkan. Hanum, anak tengah yang sekarang tinggal sendiri di rumah itu menemani ibunya tidur di kamar. Suaminya Basar dan putra tunggalnya Jo cepat kembali ke kota Medan karena Jo mau ujian akhir SMA.
Sementara Arwan yang biasa dipanggil Om Kumis oleh para kemenakannya masih tinggal bersama istrinya Sari. Kedua anak Arwan tidak dapat menghadiri pemakaman opa mereka karena tidak bisa meninggalkan kuliah mereka di Jakarta. Hanya Arwan dan istrinyalah yang buru-buru datang berdua dengan Sari ketika WA Aina dan Hanum yang mengabarkan meninggalnya bapak subuh itu.
♦♦♦
”Kalau ibu sakit, siapa yang mengantar ibu ke dokter? Harus telepon dulu mantan sopir bapak itu? Siapa namanya? Amir?”
” Ya, Amir biasanya patuh, bila bapak yang panggil. Ia sekarang sudah pensiun juga.”
”Nah, sekarang bapak tidak ada lagi. Apa dia mau mengantar ibu ke dokter dengan mobil tua bapak itu?” tanya Hanum sambil tiduran dekat ibu di atas karpet merah yang terbentang di ruang tengah rumah itu.
”Maksud kamu itu apa? Ibu sehat-sehat saja kok,” tanya ibu.
”Maksud saya, sebaiknya ibu sekarang tinggal bersama kami di kota Medan. Rumah ini biar kita sewa kontrakkan saja. Mobil butut kijang super bapak kita jual sebagai mobil antik. Begitu, ibu.”
”Enak saja kau. Aku tidak akan meninggalkan rumah ini sampai aku menyusul bapakmu. Titik.”
Suara ibu mulai meninggi. Hanum baru menyadari bahwa ucapannya itu mungkin melukai ibunya. Aina cepat-cepat mencuci tangannya setelah selesai menyuapi putranya. Hanum bangkit dari tidurannya, serta-merta mengusap bahu ibunya yang renta sambil menghadiahi ciuman di kening orang tua itu. Orang tua itu menangis sesenggukan.
”Rumah ini kami bangun berdikit-dikit, berangsur-angsur, dari sisa-sisa biaya sekolah kalian hingga jadi sebesar ini, dengan empat kamar tidur. Mobil itu dibeli bapakmu dalam keadaan baru keluar dari toko ketika bapak memasuki tahun kedua masa pensiunnya, dari tabungan kami. Biar sudah tua usianya, belum pernah rusak kok. Bapak masih piawai nyetir, meski sudah dekat delapan puluh usianya. Kalau mau pergi jauh, Amir bersedia membantu.”
”Ya, ya. Kami tahu. Maksud kami, kalau kami sudah pergi ke kota masing-masing, ibu tinggal dengan siapa?”
”Dengan si One! Sedari dulu dia setia menemani kami. Dia masih kuat cuci-masak. Anaknya si Buyung tiap bulan kirim uang. Dia juga tidak punya saudara. Kitalah saudaranya. Suaminya sudah lama mati ketika bekerja di Malaysia. Ibu kan juga punya tetangga dan teman- teman semajelis taklim di masjid. Kalau kalian rindu ibu, pulanglah. Ini rumah kalian! Kalau ibu sudah menyusul bapak, jangan jual rumah ini. Kalau kalian tidak sanggup merawat, hibahkan jadi panti anak yatim, biar pahalanya untuk kami berdua. Kalian tidak perlu uang dari rumah ini. Kalian sudah kaya, hidup bahagia dengan keluarga masing-masing. Untuk itu ibu senantiasa bersyukur pada-Nya.”
♦♦♦
Mereka makan malam bersama setelah shalat Isya berjemaah yang diimami Arwan di rumah itu. One, perempuan tetangga yang setia sejak muda itu telah lama menyiapkan makan malam di meja oval kebanggaan ibu. Ibu tampak kurang berselera makan. Mungkin masih terguncang oleh ajakan Hanum. Tiba-tiba Arwan buka bicara.
”Kami tadi siang sudah beli tiket untuk bertiga. Kali ini, ibu ikut kami ke Jakarta dulu untuk berlibur. Cucu ibu Rona dan Rani sudah lama tidak jumpa omanya. Biasanya oma cuma lihat di WA dan FB saja, sesekali lewat videocall. Mereka bangga sama oma-opanya. Sekarang opa kebanggaan anak-anak tidak ada lagi. Nanti kalau Oma mau pulang, kami antar lagi.”
Ibu yang sekarang dianggil oma itu tidak berkata apa-apa. Hanya memandangi anak- anaknya satu per satu dengan mata rindu campur haru.
”Ya, setelah itu, biar kami jemput oma ke Jakarta, kita libur ke Bandung, ke rumah kami,” ujar Aina.
Ibu menoleh pada Aina. Menatap sebentar, seperti menakar apakah Aina sanggup melayaninya karena dia tahu ekonomi bungsunya itu sekarang sedang susah.
”Setelah itu, kami jemput ibu ke Bandung. Lalu kita liburan di Medan, ya Bu? Anak-anak selalu membanggakan omanya yang guru bahasa Inggris.”
Ibu mencuci tangannya perlahan-lahan. Menyambar tisu, melap mulut dan tangannya dengan cermat. Dari tadi ia mendengar saja ocehan ketiga anaknya itu, kecuali Sari, istri Arwan yang tidak berkomentar apa- apa. Mungkin Sari merasa ia mesti menempatkan dirinya di luar konteks ibu dan anak. Tiba-tiba, ibu bicara ke arah menantunya Sari.
”Betul kalian sudah beli tiket untuk ibu juga, Sari?”
Sari terkejut, memandang sekeliling dan akhirnya menatap suaminya Arwan. Arwan tersenyum, mengangguk.
”Ya, Ibu. Kami beli tiket online untuk kita bertiga,” jawab Arwan.
”Yang aku tanya, Sari. Yang jawab, kamu. Bagaimana ini?”
”Ya, Ibu. Saya memang tidak tahu kalau Bang Arwan beli tiket online. Belum dia kasi tahu ke saya. Maafkan saya Ibu.”
”Kalau memang Arwan sudah beli tiket pulang ke Jakarta, baiklah. Tapi, tiket untuk Ibu, kembalikan saja. Ibu tidak bisa ikut kalian. Meski sudah setua ini, Ibu sekarang ketua penasihat majelis taklim kaum ibu di masjid kita. Selagi Ibu masih kuat berjalan, Ibu harus shalat berjemaah ke masjid, paling tidak untuk magrib, isya, dan subuh. Nah, di Jakarta masjid jauh dari rumah kalian. Lagi pula, di sana ibu-ibu tidak terbiasa shalat ke masjid. Itu, yang pertama. Yang kedua, Ibu tidak bisa meninggalkan rumah kecintaan Ibu dan Bapak ini, apalagi dalam usia begini. Sejak muda Ibu merindukan memiliki rumah yang bersih, rapi, sedikit halaman untuk memelihara tanaman pohon dan bunga. Memelihara dan merawat tanaman adalah juga memelihara dan merawat kehidupan kita di bumi pemberian Yang Maha Pemurah ini. Ibu tidak mau menyia-nyiakannya. Bapak kalian….”
Ibu selalu terhenti bicara bila lidahnya terpeleset menyebut Bapak, setelah itu air matanya jatuh di pipinya yang keriput, yang diusap dengan ujung kebayanya yang harum. Tak lama, ibu terbatuk-batuk. Biasanya, Ibu siap dengan kotak obat-obat rutin dari poliklinik. Aina cepat mengingatkan.
”Kotak obat Ibu mana?”
Sambil batuk-batuk tangan orang tua itu menunjuk ke suatu tempat. Aina mengambil obat itu dan mengeluarkan beberapa butir atas petunjuk Ibu. Ada tiga macam obat yang harus diminumnya, obat anti-asam urat, obat menjaga tensi darah, dan obat asma bila kambuh.
Arwan memapah ibunya ke kamar karena tampaknya Ibu mulai sesak napas. Ketiga anak dan seorang menantu itu masuk ke kamar Ibu, mengambil posisi masing-masing. Aina mengipas ibunya, tapi Arwan melarang. Arwan menghidupkan AC dengan suhu sedang, sekitar 24 derajat. Satu-satu anak-anak keluar kamar itu, kecuali Aina yang tetap menunggu ibunya bernapas normal kembali. Sementara putra bungsu Aina telah tidur pulas di kasur lipat di kamar ibu.
♦♦♦
Kecuali Aina, mereka, anak-anak dan menantu Ibu kembali ke meja makan menghabiskan makan malam sambil berdiskusi dengan kekhawatiran masing-masing.
”Kalau Ibu tinggal sendirian, kita anak-anaknya semua di rantau, lalu sesak napas ibu kambuh seperti barusan?” suara Hanum membuka diskusi.
Arwan mengangguk-angguk. Lalu, katanya, ”Ibu kan masih piawai menggunakan gawai. Ibu masih aktif FB dan WA dengan teman-temannya, dan grup kita. Hanya bapak yang sudah tidak peduli sejak lima tahun terakhir.”
”Kalau dalam keadaan sesak napas begitu, bagaimana mungkin menggunakan gawai?” ujar Sari. ”Apa si One bisa menggunakan gawai memberi tahu kita apabila ada apa-apanya dengan Ibu?”
Dalam kemelut diskusi itu sedang berlangsung, Aina buru-buru keluar kamar Ibu memberi tahu bahwa ia muntah. Napasnya semakin sesak. Semua berhamburan lagi ke kamar Ibu. Wajah Ibu kelihatan pucat. Matanya terpejam menahan sakit. Arwan cepat-cepat mencari kunci mobil bapak dan menghidupkan mesin mobil itu di garasi. Arwan dan saudara-sadaranya menggendong ibunya naik ke mobil yang akan menuju Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum di pusat kota.
Aina meninggalkan putra bungsunya tidur sendiri dijaga si One. Ketiga anak ibu dan Sari sekarang menuju ke Rumah Sakit Umum di pusat kota. Dengan kecepatan terkendali, Arwan memacu mobil tua bapak yang ternyata masih bagus itu. Tak ada yang berkata-kata. Semua dalam keadaan cemas dengan pikiran-pikiran buruk menjelang sampai ke rumah sakit. Aina merebahkan ibunya di pangkuannya. Hanum memeluk kedua kaki ibunya. Sementara Sari menemani suaminya menyetir di depan. Hanya Arwan yang berpikiran rasional, bahwa akhir kehidupan adalah kematian. Jika itu terjadi pada ibu?
Harris Effendi Thahar, lahir di Tembilahan, Riau, 4 Januari 1950. Sehari-hari bekerja sebagai Guru Besar Pendidikan Sastra Indonesia pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang. Buku kumpulan cerpennya, Si Padang (2003) dan Anjing Bagus (2005), diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Sepuluh cerpennya tersebar dalam kumpulan bersama Cerpen Pilihan Kompas.
K Nawasanga, lahir di Bandung, kini tinggal di Bali. Aktif menggelar pameran seni rupa secara kolektif di Ubud dan Jakarta. Pada 2002 menggelar pameran tunggal ”The Faces” di Deutsche Internationale Schule, Jakarta. Pada 2018 mengikuti program artist in residence di Wagga Regional Art Gallery, NSW, Australia.