Berdikari di dalam Kawasan Hutan
Tangan Sugiyanto (45) tampak terampil menyadap sebuah batang pohon karet yang ada di kebunnya yang terletak di kawasan hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lempuing Mesuji, Sumatera Selatan. Kini, Sugiyanto tidak lagi takut dengan kejaran para petugas karena sudah memiliki akses untuk mengelola kawasan hutan melalui program perhutanan sosial.
Tangan Sugiyanto (45) tampak terampil menyadap sebuah batang pohon karet yang ada di kebunnya yang terletak di kawasan hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lempuing Mesuji, Sumatera Selatan. Kini, Sugiyanto tidak lagi takut dengan kejaran para petugas karena sudah memiliki akses untuk mengelola kawasan hutan melalui program perhutanan sosial.
Dengan telaten, Sugiyanto warga Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, menyayat kulit batang pohon karet miliknya yang berusia hampir 20 tahun, Sabtu (29/6/2019). Tetasan getah karet berwarna putih mengalir ke sebuah mangkuk yang diikatkan di batang berdiameter sekitar 30 cm sebagai wadah getah.
Selesai dengan satu pohon, dia berpindah ke pohon yang lain dengan metode yang hampir sama. Dalam satu hektar lahan karet miliknya, ada sekitar 500 pohon karet yang ia sadap. Aktivitas ini, ia lakukan hampir setiap hari mulai pukul 05.00 WIB-09.00 WIB.
Dari hasil menyadap, Sugiyanto memperoleh getah karet sekitar 100 kilogram dari dua hektar lahan karet miliknya. Satu kilogram karet dihargasi Rp 8.000. Pendapatannya pun tergolong lumayan yakni sekitar Rp 3,2 juta per bulan. Dana tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan tiga orang anaknya.
Saat itu, kondisi lahan disini adalah semak belukar. Kami olah kawasan ini menjadi perkebunan karet
Sugiyanto merupakan warga pendatang dari Lampung pada tahun 1999, dia bersama kelompoknya mengincar kawasan hutan ini sebagai tempat untuk mengais peruntungan. “Saat itu, kondisi lahan disini adalah semak belukar. Kami olah kawasan ini menjadi perkebunan karet,” katanya.
Namun, saat itu tindakannya dianggap ilegal. Tak ayal, kejar-kejaran dengan aparat penegak hukum. Polisi hutan, polisi, dan tentara kerap datang ke kawasan ini untuk menertibkan tindakan warga. Belum lagi, benturan kepentingan dengan warga setempat dan juga perusahaan juga kerap terjadi. “Saat itu, hidup saya tidak tenang,” ungkapnya.
Bahkan, konflik di kawasan tersebut sempat memanas dan menelan satu korban jiwa. Kondisi saat itu pun mencekam. Lelah dengan kondisi tersebut, Sugiyanto bersama warga setempat meminta izin untuk menjadikan kawasan ini sebagai hutan tanaman rakyat (HTR) pada 2009.
Permintaan saat itu, masih dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Namun pemberian izin tidak berjalan lancar bahkan cenderung lamban. Hal ini membuat keresahan terus melanda. Hingga akhirnya, pada tahun 2013, proses perhutanan sosial digalakan.
Percepatan mulai dilakukan, hingga pada 28 Desember 2018, Presiden Joko Widodo memberikan izin akses perhutanan sosial berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) seluas 6.850,59 hektar untuk 24 kelompok tani di daerah tersebut.
Izin pengelolaan hutan
Ketua Gabungan Kelompok Tani Karya Selang Makmur Gunawan menuturkan, sejak diberikannya izin pengelolaan hutan, kehidupan warga kian sejahtera. Pendapatan rata-rata per kepala keluarga mencapai Rp 3,2 juta per bulan. Rata-rata warga memang menanam karet, hanya 30 persen yang mengolah sawah. “Kebanyakan persawahan ada di pinggir sungai,” kata Gunawan.
Dari hasil menyadap karet dan menanam padi, warga secara swadaya dapat membangun fasilitas umum seperti jalan, tempat ibadah, dan sekolah dengan dana sendiri.
Warga menyisihkan dana sekitar Rp 300 per kg bahan olahan karet rakyat (bokar) untuk pembangunan fasilitas umum. “Walau belum optimal, kami bangga bisa membangunnya fasilitas ini sendiri,” kata Gunawan. Sampai sekarang, belum ada bantuan dari pemerintah daerah, karena mereka menggap ini merupakan kawasan hutan.
Dengan mengelola hasil hutan ini, lanjut Gunawan, warga juga mampu menyekolahkan anak-anaknya, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. “Dengan manfaat yang kami peroleh, kami berupaya untuk terus melestarikan hutan ini,” katanya.
Walau belum optimal, kami bangga bisa membangunnya fasilitas ini sendiri
Masyarakat juga berupaya untuk terus menjaga kawasan hutan agar terhindar dari risiko kebakaran lahan yang terus mendera. Selama dua tahun terakhir, kebakaran lahan di kawasan ini terus berkurang bahkan nyaris tidak ada.
"Itu karena warga menyadari kebakaran lahan sangat mengancam mata pencaharian mereka,” ungkap Gunawan. Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan salah satu kabupaten yang menjadi “langganan” kebakaran lahan di Sumatera Selatan.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah V Lempuing-Mesuji Susilo Hartono mengatakan, total kawasan hutan di KPH ini mencapai 135.000 hektar. Dari jumlah tersebut 77.000 hektar merupakan Hutan Tanaman Industri untuk dua perusahaan. 21.000 hektar hutan lindung, dan 6.850 hektar merupakan HTR yang dikelola oleh masyarakat.
Sebelum ditetapkan menjadi hutan sosial, ungkap Susilo, konflik kerap terjadi. Konflik antar warga dan juga dengan perusahaan terus terjadi. Memang pada tahun 1997, PT Inhutani III sempat menanam karet seluas 1.000 hektar di kawasan ini. Konflik juga kerap terjadi.
Pertugas KPH layaknya musuh bebuyutan bagi warga.“Bahkan, ketika petugas KPH ingin masuk ke kawasan ini, kami harus memanggil polisi dan tentara, karena kami takut ada konflik dengan warga,” katanya.
Namun, setelah izin HTR dikeluarkan, petugas KPH dan warga layaknya saudara. “Setiap kami berkunjung ke desa ini, pasti diberi hasil pertanian seperti pisang, beras, dan berbagai komoditas lain,” katanya sembari tertawa. Di sisi lain, dengan dilegalkannya masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, tentu dapat mengurangi potensi konflik.
Ke depan, ungkap Susilo, pihak KPH bersama warga berinisiatif untuk menanam komoditas lain selain karet seperti gaharu, jengkol, madu, dan tanaman buah lainnya. “Saat ini sudah ada 40.000 benih tanaman yang sedang disemai. Ketika ada peremajaan (replanting) tanaman karet akan kami tanam benih tersebut sembari menunggu tanaman karet dapat berproduksi kembali,” ucap Susilo.
Bahkan, warga sedang mengajukan izin untuk menjadikan kawasan ini sebagai lokasi wisata alam. Termasuk untuk menyediakan kebun binatang agar mendatangkan potensi ekonomi bagi warganya.
Desa ini merupakan salah satu kawasan yang mendapatkan izin perhutanan sosial di Sumsel. Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Tjahjanto megatakan untuk di Sumsel sendiri dari 361.897 hektar lahan yang ditargetkan untuk masuk dalam program perhutanan sosial, baru 104 izin yang dikeluarkan dengan luasan mencapai 101.821 hektar.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto menuturkan, keberadaan perhutanan sosial merupakan cara untuk meminimalisasi konflik yang kerap terjadi di dalam kawasan hutan dan juga menekan angka kemiskinan.
Karena petugas KPH-lah yang paling tahu kondisi kawasan hutan di daerahnya
Namun Bambang mengakui, pemberian izin perhutanan sosial masih belum optimal karena keterbatasan dana dan juga kurangnya tenaga pendamping guna membimbing masyarakat dalam mengelola kawasan hutan pasca dikeluarkannya izin. Selain itu, keberadaan perhutanan sosial juga mendatangkan pendapatan bagi Negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dari Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), kawasan hutan yang masuk program perhutanan sosial mencapai 13,8 juta hektar, namun hingga saat ini, baru diterbikan izin untuk 3,1 juta hektar. Untuk itu, langkah percepatan perlu dilakukan, termasuk dengan melibatkan petugas KPH. “Karena petugas KPH-lah yang paling tahu kondisi kawasan hutan di daerahnya,” ungkap Bambang.
Melibatkan mahasiswa
kata Ketua Dekan Kehutanan Institut Pertanian Bogor Rinekso Soekmadi mengatakan tidak hanya petugas KPH, mahasiswa pun akan dilibatkan untuk melakukan pendampingan kepada penerima izin di kawasan hutan. Salah satunya dengan melibatkan mahasiswa kehutanan untuk turut serta mendapingi masyarakat penerima izin perhutanan sosial. Skema pendampingan ini akan mulai dilakukan pada 2020 melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik.
Menurut Soekamdi yang juga menjabat sebagai Ketua Pimpinan Lembaga Tinggi Program Studi (Prodi)/Fakultas Kehutanan, keberadaan mahasiswa ini diharapkan juga akan membantu masyarakat untuk mengelola komoditas hasil hutannya dalam pemikiran milenial.
Bagi Sugiyanto, mendapatkan dua hektar lahan untuk kehidupannya merupakan berkah. Dirinya bersyukur, kini dirinya bukan lagi musuh Negara yang dikejar-kejar layaknya buronan, namun sudah dijadikan kawan yang diajak bersama untuk menjaga kawasan hutan.