Kebebasan Mimbar Akademik Ampuh Tumbuhkan Toleransi
Mimbar adu gagasan yang terbuka harus kian digiatkan di kampus-kampus. Hanya ini metode memerangi ideologi eksklusif dan intoleran dengan cara yang intelektual sekaligus sesuai dengan semangat demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei Setara Institute tentang cara beragama mahasiswa di 10 perguruan tinggi negeri menunjukkan, banyaknya mengakses konten intoleran di media sosial tidak berbanding lurus dengan langsung menjadi eksklusifnya seseorang dalam bersosialisasi. Hal ini karena cara beragama serta pandangan toleransi seseorang sangat kompleks dan dipengaruhi banyak hal mulai dari pendidikan, pola pengasuhan di keluarga, dan lingkungan pergaulan.
Individu yang berasal dari keluarga moderat dalam beragama dan memiliki jaringan pergaulan luas terbukti tidak bisa dipengaruhi oleh konten-konten intoleran di media sosial. Fakta tersebut juga berlaku bagi mereka yang dibesarkan di lingkungan homogen dan cenderung eksklusif dalam beragama.
Sekadar memberi kuliah mengenai Pancasila, nasionalisme, dan toleransi tidak akan mempan karena pola pikirnya sudah terbentuk sejak dini.
Individu yang berasal dari keluarga moderat dalam beragama dan memiliki jaringan pergaulan luas terbukti tidak bisa dipengaruhi oleh konten-konten intoleran di media sosial.
"Langkah paling efektif ialah menghadirkan diskursus di kampus. Artinya, paham keagamaan dibedah dari berbagai sudut pandang yang kritis. Hal ini akan membuat mahasiswa belajar membangun argumentasi intelektual dan membuka wawasan mereka kepada berbagai persepsi nilai keagamaan," kata peneliti senior Setara Institute Nuryamin Aini, Minggu (30/6/2019), di Jakarta.
Minggu, Setara Institute merilis hasil survei cara beragama mahasiswa di 10 perguruan tinggi negeri, dengan responden 1.000 mahasiswa, pada awal-pertengahan 2019. Sepuluh PTN tersebut adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, Institut Teknologi Bandung, IPB University, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Jakarta), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN Bandung).
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, moderasi di dalam masyarakat semakin tergerus karena orang-orang semakin terkutub ke dua sisi berlawanan, yaitu konservatif dan liberal. Fenomena ini kontraproduktif dalam negara yang demokratis karena kedua kubu sama-sama menutup diri dan tidak membangun dialog intelektual.
Di kampus, organisasi-organisasi keagamaan hendaknya tidak didominasi hegemoni suatu kelompok. Perguruan tinggi harus menjamin adanya keragaman ide yang berputar di lingkungan mahasiswa guna membuat perkuliahan menjadi dinamis yang kemudian menghasilkan pemikiran-pemikiran kritis dan progresif.
Perguruan tinggi harus menjamin adanya keragaman ide yang berputar di lingkungan mahasiswa guna membuat perkuliahan menjadi dinamis yang kemudian menghasilkan pemikiran-pemikiran kritis dan progresif.
Enam pola
Penelitian Setara melihat enam pola cara beragama mahasiswa. Pertama, pemikiran mengenai fundamentalisme beragama. Hal ini tidak seketika berarti negatif karena maknanya individu tersebut sangat meyakini ajaran agamanya.
Pola kedua, konservatisme yang berarti pemikiran fundamentalis diikuti perilaku melihat segala sesuatu hanya pada hitam dan putih serta cenderung tertutup pada narasi lain.
Pola ketiga dan keempat adalah apresiasi keragaman aliran atau mahzab di dalam satu agama, kemudian apresiasi perbedaan secara umum di masyarakat.
Pola kelima, pandangan mengenai privatisasi agama atau agama adalah urusan pribadi, bukan negara.
Pola keenam, mencari sikap terhadap kepentingan negara dan agama, yaitu memilih kepentingan yang harus didahulukan.
Responden penelitian ini yang berjumlah 1.000 mahasiswa mayoritas beragama Islam. Sebagian kecil lainnya beragama Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, aliran kepercayaan, empat responden mengaku ateis.
Setiap PTN diambil sebanyak 100 responden mahasiswa aktif kuliah. Penelitian kemudian mengukur kecenderungan siswa beragama menggunakan skala 0 untuk indikasi semakin konservatif dan 5 sebagai indikator semakin toleran.
Dari survei itu diperoleh skor bahwa pandangan konservatif mahasiswa ada di angka 2,9. Artinya, mahasiswa masih cenderung melihat segala hal dalam konsep hitam dan putih sehingga terpengaruh pada ideologi bawaan masing-masing.
Hal menarik tampak dari skor penerimaan perbedaan mahzab atau pemikiran di dalam satu aliran agama hanya 2,32. Sementara, penerimaan terhadap aliran-aliran agama yang berbeda adalah 4,17.
"Artinya, orang lebih menerima perbedaan berbagai jenis agama dibandingkan ragam mahzab di dalam satu agama," tutur Nuryamin. Prinsip ini yang mendasari justru konflik terjadi di dalam satu agama yang sama karena saling tidak menerima cara penafsiran berbeda terhadap ajaran agama tersebut.
Orang lebih menerima perbedaan berbagai jenis agama dibandingkan ragam mahzab di dalam satu agama.
Dari segi persetujuan responden bahwa agama merupakan urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri pihak lain, apalagi negara, skornya 3,42. Selain itu, mayoritas responden setuju bahwa beragama semestinya substantif, tidak tekstual, sehingga bisa sejalan dengan nasionalisme selayaknya yang dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Skornya adalah 3,09.
"Skor untuk persetujuan melakukan kekerasan demi agama hanya 1,57. Tetapi hal ini tidak boleh dipandang remeh oleh kampus. Harus ada pembangunan karakter kebangsaan yang kritis secara terus-menerus untuk mengubah persepsi pro kekerasan ini," ujar Nuryamin.
Dari segmen-segmen penelitian tersebut, UI, UGM, Unair, Unibraw, dan ITB konsisten terus berada di atas skor rata-rata. Hal ini menunjukkan bahwa di PTN-PTN tersebut sudah ada lingkungan yang heterogen dan cukup dinamis untuk mengembangkan pemikiran kritis mahasiswa.
Wakil Rektor I UI Bambang Wibawarta ketika dihubungi pada kesempatan berbeda mengatakan bahwa mimbar kebebasan akademis dijalankan di dalam perkuliahan dan organisasi kemahasiswaan. "Syaratnya hanya digunakan untuk mengadu gagasan, bukan berpolitik praktis," ucapnya.
Sementara itu, Rektor IPB University Arif Satria juga menuturkan membuka mimbar akademis untuk berdebat dengan mengedepankan rasionalitas. Hal ini juga dimasukkan ke dalam kurikulum IPB University.
Kepala Biro Komunikasi dan Humas IPB University Yatri Indah Kusumastuti menambahkan, mahasiswa baru IPB University pada tahun pertama diminta tinggal di asrama agar mengenal rekan-rekan dari berbagai suku bangsa dan agama. Selain itu, juga ada kegiatan Gebyar Nusantara selama satu bulan perayaan Dies Natalis.