Kerugian Jalan Rusak Akibat Kendaraan Kelebihan Muatan Mencapai Rp 43 Triliun
›
Kerugian Jalan Rusak Akibat...
Iklan
Kerugian Jalan Rusak Akibat Kendaraan Kelebihan Muatan Mencapai Rp 43 Triliun
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Angkutan barang kelebihan muatan atau over dimension over loading menjadi penyebab utama rusaknya jalan dan jembatan setiap tahunnya. Tahun 2018, kerusakan jalan akibat kelebihan muatan diperkirakan membuat negara merugi Rp 43 triliun. Sebagai solusi untuk mencegah bertambahnya kerugian negara, Kementerian Perhubungan akan segera membuat cetak biru penyelesaian masalah tersebut.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi mengatakan, angka itu dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kerugian berupa kerusakan jalan dan jembatan disebabkan permasalahan over dimension over loading (Odol) yang tidak terselesaikan.
Sementara itu, pada tahun yang sama, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR hanya mendapat alokasi dana sebesar Rp 23,7 triliun, atau 57 persen dari anggaran senilai Rp 41,6 triliun, untuk pemeliharaan jalan dan jembatan.
"Oleh karenanya, saya sedang membuat blue print (cetak biru) untuk mengupas tuntas masalah Odol ini dan upaya penanganannya. Sejauh ini, saya mengedepankan aspek soft power dulu, baik itu dengan mengajak diskusi dan mengedukasi para pelaku angkutan barang dan industri," kata Budi kepada Kompas di Jakarta, Senin (1/7/2019).
Ia menjelaskan, pendekatan tersebut perlu untuk menjaga kepercayaan dan komitmen para pelaku angkutan barang dan industri yang memakai jasa logistik. Pemberlakuan aturan tegas yang terlalu cepat, menurutnya, dikhawatirkan menambah persaingan bisnis yang tidak sehat dan berdampak pada masalah ekonomi yang lebih luas, seperti inflasi.
"Solusi lewat penegakkan hukum jadi solusi terakhir. Tapi, tahun lalu, kami mulai menerapkan implementasi pemberian sanksi untuk pelaku Odol," lanjut pria yang baru satu setengah tahun menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Darat tersebut.
Pemberian sanksi itu menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. UU itu mengatur, setiap orang yang memasukkan, membuat, merakit, dan memodifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus dapat dipenjara paling lama 1 tahun atau denda maksimal Rp 24 juta.
Pemberian sanksi itu sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Penerapan sanksi diberikan dalam bentuk penilangan yang diawasi petugas Kemenhub dan Kepolisian. Tahap awal penerapan sanksi tersebut sudah dilakukan di Pekanbaru, Riau mulai Agustus 2018. Saat ini, Kemenhub juga akan menerapkan aturan tersebut di Kabupaten Mesuji, Lampung.
Budi mengatakan, daerah itu dipilih karena momentum amblesnya jalan jembatan Way Mesuji yang menghubungkan Kabupaten Mesuji dan Ogan Komering Ilir di Sumatera Selatan. Kejadian pada 17 Juni 2019 itu telah diketahui disebabkan karena beban truk bertonase yang melebihi kapasitas jembatan.Insentif
Untuk kepentingan jangka panjang, Budi mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk mengatur skema insentif bagi para operator logistik dan industri.
"Saya telah merencanakan untuk memberikan semacam reward atau insentif. Ini akan diusulkan ke Kementerian Keuangan agar ada skema insentif, entah itu berupa keringanan pajak mobil, komoditas barang, atau lainnya," imbuhnya.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman berpendapat, rencana jangka panjang seperti itu dinilai baik untuk kebaikan bersama. Namun, ia menilai, pemerintah perlu tegas dan memiliki strategi yang jelas.
"Odol ini kan rata-rata dilakukan karena longgarnya penegakan hukum. Walau pada intinya yang untung juga konsumen, karena harga barang jadi lebih murah, masyarakat juga banyak dirugikan karena jalan rusak, risiko kecelakaan tinggi, dan sebagainya," katanya saat dihubungi hari ini.
Komitmen bersama
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno, dalam keterangan tertulisnya belum lama ini, mengatakan bahwa sinergi dan keterlibatan kementerian dan lembaga lainnya diperlukan untuk menyelesaikan efek domino akibat Odol tersebut. Tidak hanya pemerintah, organisasi dan asosiasi lain yang berhubungan dengan logistik juga perlu saling berkolaborasi.
"Komitmen bersama sangat diharapkan untuk menuntaskan masalah Odol. Odol bukan lagi menjadi masalah transportasi semata, melainkan memiliki dimensi sosial ekonomi karena masalahnya sudah terentang mulai dari hulu hingga hilir," ujarnya.
Selama ini, menurut Djoko, ada beberapa faktor yang menyebabkan masalah Odol berlarut-larut. Hal itu seperti faktor aturan dan kualitas jalan, tata cara angkut barang, tarif angkutan barang, dan konsistensi penegakan hukum.
Kementerian PUPR pernah meneliti beban kendaraan jenis truk yang lewat di beberapa jembatan di ruas jalan nasional. Hasilnya, 65 persen truk memuat beban melebihi kapasitas. Sementara, saat ini, truk masih menjadi andalan angkutan logistik. Di Jawa, 90 persen angkutan logistik menggunakan truk (Kompas, 27/6/2019).
65 persen truk memuat beban melebihi kapasitas. Sementara, truk masih menjadi andalan angkutan logistik.
Sejauh ini, pemerintah baik pusat maupun daerah telah menerapkan berbagai upaya dalam sistem pengaturan lalu lintas kendaraan berat. Di Jawa, pemerintah sudah membangun lintas rel ganda di jalur kereta. Infrastruktur itu dapat menjadi pilihan mengalihkan sebagian beban angkutan logistik jarak jauh dari jalan raya ke jalan rel.
Selain itu, pemberlakuan jam operasional truk juga diterapkan di beberapa daerah. Kabupaten Tangerang misalnya, telah menerapkan Peraturan Bupati Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pembatasan Operasional Truk Pengangkutan Tanah/Tambang bertonase berat. Aturan itu membatasi waktu melintas truk yang hanya dibolehkan pada pukul 22.00 sampai 05.00. Selain untuk mengakomodasi pengguna kendaraan lainnya, aturan ini juga berguna untuk mengurangi beban jalan.