Para mukim atau masyarakat adat di Provinsi Aceh mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar segera mengesahkan usulan hutan adat. Hal ini penting agar masyarakat adat memiliki kekuatan hukum dalam mengelola hutan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Para mukim atau masyarakat adat di Provinsi Aceh mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar segera mengesahkan usulan hutan adat. Penetapan kawasan hutan adat penting agar masyarakat adat memiliki kekuatan hukum dalam mengelola hutan.
Hutan adat yang diusulkan seluas 145.250 hektar, terbagi dalam 13 lokasi yang terletak di empat kabupaten, yakni Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Jaya. Berkas usulan diajukan pada Januari 2018.
Kepala Mukim Beungga, Kabupaten Pidie, Ilyas, Senin (1/7/2019), menuturkan, hingga kini usulan hutan adat itu belum disahkan. Pekan lalu, para mukim mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mencari tahu tindak lanjut usulan tersebut. ”Kami mempertanyakan mengapa sampai sekarang belum disahkan. Apa masalahnya?” ujar Ilyas.
Ilyas menuturkan, Mukim Beungga mengusulkan hutan adat seluas 10.988 hektar. Dalam kawasan usulan itu, sebagian merupakan hutan lindung, kawasan budidaya, dan hutan tanaman industri. Meski belum ada penetapan hutan adat, warga telah mengelola hutan itu secara turun-temurun.
Kawasan hutan adat yang diusulkan sebagian telah ditanami durian, pinang, kopi, dan jabon. Ilyas mengatakan, mereka khawatir jika tidak ada kekuatan hukum, suatu waktu hutan itu dapat diambil alih untuk investasi. ”Kalau sudah ditetapkan sebagai hutan adat, kami punya kekuatan hukum untuk melindungi,” ujarnya.
Dari pejabat di KLHK, Ilyas mendapatkan informasi bahwa usulan mereka telah masuk dalam peta indikasi. Selain itu, sebagian kawasan yang diusulkan ternyata masuk dalam kawasan hutan tanaman industri milik perusahaan. Ilyas menyebutkan, seharusnya kementerian memberi tahu hasil telaah mereka jauh jauh hari agar perbaikan cepat dilakukan.
”Pengelolaan hutan adat tergantung kondisi hutan. Rimba perawan tidak akan kami tebang, kami melindungi sumber air, penghijauan, dan menjaga iklim. Hutan ini akan kami kelola dengan kearifan lokal dan adat,” kata Ilyas.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Bambang Supriyanto mengatakan, usulan untuk wilayah Aceh Besar dan Pidie telah masuk dalam peta indikatif hutan adat. ”Tinggal melengkapi persyaratan administratif, bisa segera ditetapkan,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, pihaknya akan mempercepat penetapan hutan adat di Aceh. Pihaknya akan menurunkan tim ke Aceh untuk mendampingi warga. Kementerian juga membangun komunikasi dengan pemerintah daerah sehingga hal-hal yang menghambat secara administrasi bisa terselesaikan. Bambang juga mendorong Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) Aceh agar lebih aktif.
Penanggung jawab Program Jaringan Masyarakat Komunitas Adat (JMKA) Aceh Rusliadi menilai, pemerintah lamban menindaklanjuti berkas usulan. Setelah satu tahun setengah, proses masih berkutat dalam tahap validasi administrasi dan verifikasi lapangan.
”Seharusnya kementerian memberi informasi ke warga terkait perkembangan usulan, bukan warga yang harus jemput bola ke kementerian,” kata Rusliadi.
Rusliadi ikut mendampingi para mukim saat bertemu dengan pejabat KLHK. Kata Rusliadi, kementerian tidak memberikan kepastian kapan hutan adat di Aceh akan ditetapkan. ”Penting segera disahkan karena terkait pengelolaan di lapangan agar warga tidak khawatir dalam mengelola hutan,” ujarnya.