Nobel, NU, dan Muhammadiyah
Reputasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai penjaga budaya toleransi dan pilar masyarakat sipil di Indonesia menjadi topik yang menggu- gah perhatian pada seminar dua hari, 19-20 Juni 2019, di Oslo, Norwegia.
Tak kalah menarik, pembahasan tentang pergulatan NU dan Muhammadiyah sebagai pagar dan benteng pluralitas bangsa Indonesia dalam menghadapi gempuran kaum ekstremis dan radikal, yang memaksakan paham intoleran dalam beberapa tahun terakhir. Atas peran strategis dan vital dua organisasi sosial terbesar Islam itu, kalangan cendekiawan dan masyarakat sipil Indonesia mengajukan NU-Muhammadiyah dalam satu paket sebagai calon penerima Hadiah Nobel Perdamaian, penghargaan paling bergengsi di dunia.
Usulan yang didukung sejumlah tokoh internasional itu, seperti mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta yang meraih Nobel Perdamaian 1996, digaungkan lagi lebih kuat dalam seminar dua hari di Oslo, markas khusus Panitia Nobel Perdamaian.
Hadir dalam seminar di Universitas Metropolitan Oslo ataupun Institut Kajian Perdamaian Oslo (PRIO) antara lain akademisi, cendekiawan, beberapa duta besar Asia dan Timur Tengah, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat sipil Norwegia, dan sejumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa.
Pembicara dari Indonesia adalah Duta Besar Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, Prof Franz Magnis-Suseno, Prof Azyumardi Azra, Ketua Pengurus Besar NU Marsudi Syuhud, Sekretaris Jenderal Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Yenny Wahid dari Wahid Institute. Ikut dalam delegasi Indonesia antara lain Philips Vermonte dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), Nezar Patria dari The Jakarta Post, dan Dhohir Farisi dari Gerakan Pemuda Ansor.
Tak ada yang tahu adakah utusan Panitia Nobel dalam dua seminar ini. Panitia Nobel selalu bekerja diam-diam dan tertutup untuk menjaga kerahasiaan. Franz Magnis secara terbuka menyatakan, atas nama pribadi dan rekan-rekannya, mendukung prakarsa pencalonan NU-Muhammadiyah untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Dalam seminar bertopik ”Tantangan Islam Ekstremis di Indonesia” yang digelar Kedutaan Indonesia dan PRIO pada 20 Juni, Franz Magnis menegaskan, NU dan Muhammadiyah pantas meraih penghargaan itu karena kedua organisasi itu berjasa dalam memelihara toleransi beragama, menjaga persaudaraan dan persatuan bagi negara-bangsa Indonesia yang plural. Berbagai kelompok sosial dan keagamaan di Indonesia selama ini nyaman dan rukun dalam menjalin komunikasi dan kerja sama dengan NU dan Muhammadiyah.
Azyumardi Azra dalam forum yang sama menjelaskan peran NU dan Muhammadiyah menjaga karakter khas keagamaan Islam di Indonesia, yang menekankan sikap moderat, inklusif, akomodatif, wasatiyah (jalan tengah dan serba berimbang). Lebih jauh, ia menjelaskan, NU dan Muhammadiyah berperan dalam menjaga kohesi sosial dan persatuan bangsa di tengah guncangan dan krisis sosial politik dan ekonomi, seperti pada masa transisi dari era Orde Baru ke era Reformasi tahun 1998.
Terkait Pancasila, Azra menyatakan, ideologi negara itu adaptif dengan konsep jalan tengah yang dilakoni NU dan Muhammadiyah. Nilai utama dalam Pancasila pada dasarnya seiring dengan ajaran Islam.
Azra berkeyakinan, sepanjang NU dan Muhammadiyah tetap mempertahankan prinsip jalan tengah dan menjaga Pancasila sebagai ideologi negara, kelompok ekstremis tak akan pernah unggul, termasuk dalam pertarungan partai politik untuk memperebutkan kekuasaan dan pemerintahan.
Tulang punggung
Saat membuka seminar, Todung Mulya Lubis mengungkapkan wajah agama Islam Indonesia yang moderat, toleran, inklusif, dan merangkul berbagai kelompok yang lain. Islam berkoeksistensi damai dengan agama lain di Indonesia.
Namun, ia mengakui, sekitar satu dasawarsa terakhir Indonesia menghadapi bangkitnya ekstremisme dan fundamentalisme agama. Indonesia diingatkan akan menghadapi kekacauan, seperti Suriah, jika gerakan ekstremisme dibiarkan merebak luas. Harganya sangat mahal, bukan hanya bagi Indonesia, melainkan juga bagi kawasan dan dunia, jika Indonesia menjadi berantakan.
Todung berpandangan, NU dan Muhammadiyah merupakan tulang punggung bangsa dalam menghadapi terjangan gerakan ekstremis dan fundamentalis di Indonesia. Yenny Wahid mengungkapkan, tantangan yang dihadapi NU dan Muhammadiyah dalam menghadang gerakan kaum ekstremis tidaklah kecil. NU dan Muhammadiyah bersuara lantang tentang ancaman bahaya gerakan kaum ekstremis yang cenderung meningkat.
Yenny juga menyinggung berbagai kerja lapangan lintas agama dan kelompok sosial dalam menjaga kerukunan, perdamaian, persaudaraan, dan kebersamaan bagi bangsa Indonesia yang plural.
Dalam seminar bertopik ”Peran Masyarakat Sipil dalam Menghadapi Radikalisme di Indonesia” di Universitas Metropolitan Oslo, Ketua Pengurus Besar NU Marsudi Syuhud mengingatkan tentang meningkatnya bahaya ancaman ekstremis, yang intoleran dan mengeksploitasi kekerasan.
Sejarah perjuangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan, yang menjaga toleransi, perdamaian, dan kebinekaan sejak terbentuk tahun 1926. NU termasuk pendiri negara-bangsa dan mendukung Pancasila.
Pembicara lain, Sekjen Muhammadiyah Abul Mu’ti menjelaskan kiprah Muhammadiyah dalam mendorong sikap moderat, perdamaian, dan Muslim yang berkemajuan sejak didirikan tahun 1912.
Mu’ti menjelaskan, Muhammadiyah merupakan civil society yang berkiprah dalam bidang sosial keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sekolah Muhammadiyah tidak hanya untuk anggotanya, tetapi terbuka untuk semua komponen bangsa. Secara tegas pula, ia menyatakan, Muhammadiyah termasuk pendiri negara-bangsa Indonesia, pembela Pancasila, dan menolak ekstremisme.
Sebagai tanggapan, Prof Elisabeth Eide dari Universitas Metropolitan mengharapkan upaya pengekangan ekstremisme tidak boleh melawan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Secara terpisah, peneliti dari PRIO, seperti Marte Nilsen dan Trond Bakkevig, menganjurkan, Indonesia lebih proaktif menyebarkan prinsip Islam moderat ke kawasan Timur Tengah dan dunia lainnya.
Jelas sekali, seminar dua hari di Oslo tak hanya membicarakan Hadiah Nobel Perdamaian, tetapi sekaligus memperkenalkan Indonesia kepada kawasan Nordik. Lebih-lebih karena masyarakat dunia belum banyak tahu tentang Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan AS.
Jangan-jangan, karena kurang promosi, tak banyak yang tahu tentang kekuatan ekonomi Indonesia yang terus meningkat, menjadi anggota G-20 dengan topangan 260 juta penduduk, dan kaya aneka sumber alam di lintasan Khatulistiwa.