Reformasi Polri Mulai Perlihatkan Hasil
Di usianya yang ke-73 tahun, publik kian mengapresiasi kinerja Polri meskipun tugas yang dihadapi semakin berat. Di tengah apresiasi itu, mewujudkan lembaga yang independen dan antisuap masih menjadi tantangan.
Salah satu visi Jenderal (Pol) Tito Karnavian setelah dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pada 13 Juli 2016 adalah melakukan reformasi internal Polri. Tujuannya agar institusi Polri menjadi lembaga yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Tiga tahun Tito memimpin Polri kian tampak apresiasi terhadap kinerja Polri.
Dua alat ukur yang dipakai Kompas yakni hasil survei nasional secara tatap muka setiap enam bulan dan jajak pendapat melalui telepon terhadap responden di 16 kota besar. Kedua metode jajak pendapat itu menunjukkan konsistensi kenaikan kinerja dan apresiasi publik terhadap Polri.
Hasil jajak pendapat Kompas kali ini menunjukkan mayoritas responden (70,8 persen) puas dengan kinerja kepolisian saat ini. Sementara 27,2 persen responden masih merasa belum puas. Tingkat kepuasan itu terhitung tinggi jika dibandingkan hasil jajak pada masa lalu di mana tingkat kepuasan biasanya tak jauh dari angka separuh bagian responden.
Demikian juga hasil survei nasional yang menunjukkan, sejak 2015 citra positif kepolisian cenderung meningkat dan mencapai puncaknya pada April 2018. Survei nasional terbaru adalah Maret 2019 atau sebelum pemilu. Saat itu citra positif kepolisian 68,6 persen atau sedikit menurun, tetapi dengan citra negatif yang relatif sama dengan setahun sebelumnya (sekitar 24 persen).
Dari jajak pendapat ini, jika ditelisik per bidang, kepuasan tertinggi, yakni 73,6 persen, terkait penanganan kasus terorisme. Apresiasi ini konsisten selama pelaksanaan jajak pendapat terutama sejak era di mana kepolisian relatif cepat dan tuntas mengungkap berbagai serangan teror.
Meski sejumlah aksi teror tetap terjadi, secara umum tidak membuyarkan rasa aman masyarakat. Pada pertengahan Maret lalu, polisi menangkap pemilik bom berdaya ledak besar di Kota Sibolga, Sumatera Utara. Upaya terbaru, Densus 88 Antiteror Polri menangkap terduga teroris di sejumlah daerah menjelang pengumuman pemilihan presiden pada 22 Mei (Kompas, 15/5/2019).
Apresiasi tinggi juga diberikan terkait upaya Polri dalam menangani kasus-kasus kriminal. Kemampuan polisi menghadirkan rasa aman pada saat ini relatif terjaga di tengah berbagai ancaman perpecahan karena isu ekonomi, sosial, dan politik. Berdasarkan Statistik Kriminal, pada 2015 terdapat 352.936 kasus kriminal yang ditangani, meningkat menjadi 357.197 kasus pada 2016, dan menurun jadi 336.652 kasus tahun 2017. Itu artinya hampir 1.000 kasus kriminal per hari terjadi di seluruh Indonesia.
Apresiasi yang relatif rendah diberikan terkait kinerja polisi dalam mengusut kasus bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Isu SARA terus dimainkan kelompok tertentu untuk tujuan politik, terlebih saat mendekati pilkada atau pemilu. Tindakan polisi kerap kali dibenturkan dengan anggapan kriminalisasi atau memusuhi kelompok tertentu. Di sisi lain, hukum positif mewajibkan aparat melakukan penegakan hukum terhadap oknum-oknum yang menyebarkan ancaman, ujaran kebencian, ataupun kabar bohong (hoaks).
Membersihkan stigma
Di balik apresiasi publik terhadap kinerja Polri, masih ada pekerjaan rumah untuk menanggalkan sejumlah citra negatif yang masih melekat. Salah satunya stigma bahwa polisi mudah disuap.
Meski jumlah responden yang menganggap polisi tidak mudah disuap masih lebih besar, masih ada 39,6 persen responden yang berpendapat sebaliknya. Pungutan liar saat berurusan dengan polisi, terutama ketika di jalan raya, masih menjadi momok yang sulit dihapus dari ingatan publik.
Catatan lainnya terkait independensi Polri. Masih ada 39,4 responden yang menganggap institusi ini tidak netral dan berpihak pada kekuasaan. Polri masih dinilai tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas atau tebang pilih dalam menindak kejahatan.
Proporsi yang relatif sama dinyatakan dalam hal ketika berurusan dengan polisi harus mengeluarkan uang. Ada sepertiga responden yang menganggap polisi tak profesional saat menjalankan tugasnya.
Stigma buruk tentang perilaku koruptif yang sudah ada sejak lama inilah yang ingin dikikis Kapolri dan yang mendasari reformasi kultural di tubuh Polri. Reformasi internal ini menjadi program prioritas 100 hari pertama Tito sebagai Kapolri. Hasil dari reformasi itu kini mulai dinikmati publik dan tetap dinanti akhirnya.
Pemilu dan hoaks
Terlepas dari masih adanya kinerja yang dinilai kurang memuaskan, lebih dari separuh responden memandang kinerja Polri makin baik dibandingkan setahun lalu. Penilaian ini tidak lepas dari keberhasilan Polri mengamankan pemilu dan mengungkap kejahatan siber.
Polri menjadikan penanganan hoaks jadi fokus perhatian sejak 2018, terutama saat pilkada serentak di 171 wilayah. Upaya itu antara lain dengan mengefektifkan Biro Multimedia Divisi Humas Polri yang bertugas memberi pemahaman ke masyarakat tentang informasi yang benar dan yang hoaks atau provokatif. Ada juga Direktorat Keamanan Khusus Badan Intelijen dan Keamanan Polri yang melakukan patroli siber.
Terakhir Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri yang melakukan penegakan hukum.
Selama 2018, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap 130 pembuat dan penyebar hoaks di media sosial. Produksi hoaks dan ujaran kebencian cenderung meningkat saat tahun politik. Dari 3.884 konten yang diselidiki, 649 konten diproduksi akun asli, 702 konten oleh akun semianonim, serta 2.533 akun anonim (Kompas, 3/2/2019).
Kinerja Polri yang juga mendapat sorotan besar terkait pengamanan Pemilu 2019. Usia 73 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Polri untuk mewujudkan profesionalitas dan memenuhi harapan semua lapisan masyarakat. Polri mesti terus berbenah mewujudkan janji reformasinya. Selamat Hari Bhayangkara!