JAKARTA, KOMPAS Setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih periode 2019-2024 oleh Komisi Pemilihan Umum, tugas berat menanti pemerintahan Presiden Joko Widodo. Persoalan yang kini harus segera diatasi antara lain menyatukan masyarakat yang terbelah akibat kontestasi pada pemilu lalu.
Hasil jajak pendapat oleh Litbang Kompas pada 26-27 Juni 2019 terhadap 545 responden di 16 kota besar di Indonesia menunjukkan, setidaknya ada empat hal yang perlu jadi prioritas pemerintah hingga enam bulan ke depan. Menyatukan kembali masyarakat yang terbelah akibat kontestasi pada pemilu lalu disebut menjadi hal yang mendesak atau sangat mendesak oleh 84 persen responden.
Persoalan lain yang dinilai perlu segera ditangani adalah menguatkan kembali ideologi Pancasila serta mengonsolidasikan aspek kelembagaan pemerintahan yang baru, seperti membangun kabinet dan koalisi pemerintahan yang kuat serta seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. KPK yang dibentuk sebagai bagian dari amanat reformasi akan mengalami pergantian pimpinan pada Desember mendatang.
Penyelesaian berbagai masalah itu mesti dilakukan sejak saat ini oleh pemerintahan Jokowi-Kalla, dan tidak dapat menunggu hingga pelantikan presiden dan wakil presiden 2019-2024, pada Oktober 2019.
Pentingnya menyatukan kembali masyarakat yang terbelah juga disoroti Jokowi dalam pidato penetapannya sebagai presiden terpilih 2019-2024 di Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Minggu (30/6/2019). Rekonsiliasi di antara para elite dan di masyarakat menjadi hal pertama yang ditegaskan Jokowi dan wakil presiden terpilih 2019-2024 Ma’ruf Amin.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, rekonsiliasi dan merajut kembali tali persaudaraan di tingkat akar rumput menjadi tanggung jawab dan prioritas pemerintah terpilih. Jokowi-Amin, ujarnya, akan menjadi pemimpin semua kalangan. Program dan kebijakan pemerintah akan diterapkan secara merata ke semua daerah tanpa melihat preferensi politik di setiap basis wilayah itu.
”Persoalan di masa lalu sudah selesai. Ini saatnya kita bergandengan tangan karena pemilu itu hanya alat mencari pemimpin. Buktinya, Pak Presiden, meski kalah di NTB, tetap datang dan membangun NTB. Jadi tidak ada membeda-bedakan,” katanya. Hasil penghitungan KPU menunjukkan, Jokowi-Amin unggul di 21 provinsi, sementara Prabowo-Sandi di 13 provinsi. Jokowi-Amin mendapat 85.036.828 suara, sedangkan Prabowo-Sandiaga mendapat 68.442.493 suara.
Menurut Hasto, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo sebagai simbol silaturahmi di tingkat elite segera dilakukan. ”Situasi politik sudah sangat kondusif. Maka, ada atau tidak ada pertemuan, semua sudah berjalan baik. Namun, sebagai bagian dari bangsa yang bermusyawarah, dialog dengan Pak Prabowo tetap penting dilakukan,” kata Hasto.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Menurut dia, pertemuan Jokowi-Prabowo tidak sulit untuk diwujudkan. ”Jika memang sudah waktunya, ibarat jodoh yang bertemu, siapa yang lebih dulu mendatangi, biarkan mengalir seperti air,” katanya.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, dengan adanya penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, semua perbedaan politik yang ada di masyarakat terkait hasil Pemilu 2019 seharusnya telah berakhir.
Pembelahan di masyarakat akibat perbedaan pilihan politik, lanjut Bayu, makin perlu diperhatikan karena adanya indikasi penggunaan politik identitas pada kampanye pemilu lalu. Politik identitas ini mengancam ideologi Pancasila dan persatuan nasional.
Terkait hal itu, upaya rekonsiliasi harus dilakukan bersamaan dengan penguatan ideologi Pancasila dan menjaga konstitusi negara. Rekonsiliasi tidak boleh dimaknai sebagai tawar-menawar atas dimungkinkannya pemerintah membiarkan atau mengakui ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kursi pemerintahan
Setelah rekonsiliasi dan silaturahmi antara Jokowi dan Prabowo kembali dijalin, tantangan berikutnya adalah mengonsolidasikan kekuatan politik. Hasto mengatakan, pembentukan koalisi ke depan tidak bisa dimaknai sebatas sebagai pembagian kursi di kabinet.
”Komunikasi kami dengan Gerindra dan Demokrat, jangan terlalu cepat dimaknai untuk berbagi kursi menteri. Rekonsiliasi yang dimaksud adalah jalan kemanusiaan untuk merangkul seluruh elemen membangun bangsa,” katanya.
Ia menegaskan, demokrasi yang sehat justru membutuhkan oposisi yang kuat sebagai penyeimbang kerja pemerintah. ”Keputusan terkait koalisi pascapemilu akan diputuskan oleh presiden dan ketua umum parpol. Namun, saya pribadi berpendapat, koalisi yang sehat seharusnya dibangun sebelum pemilu,” ujarnya.
Adapun Partai Demokrat sebagai salah satu partai eks pendukung Prabowo menanggapi positif ajakan Jokowi dalam pidatonya untuk rekonsiliasi dan bekerja sama. ”Memang sudah begitu seharusnya. Kompetisi ada waktunya. Ajakan Pak Jokowi itu saya kira baik karena negara ini tidak bisa hanya diurus satu-dua orang, tetapi bersama-sama,” kata Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan.
Menurut Hinca, pidato Jokowi menunjukkan dirinya terbuka untuk menjajaki peluang bekerja sama dengan partai eks pendukung Prabowo. Demokrat sendiri akan menentukan sikap politiknya pada 10 Juli 2019 setelah peringatan 40 hari wafatnya Ny Ani Yudhoyono.
”Saya kita itu juga pesan yang disampaikan Pak Jokowi, tinggal nanti dilihat, partai mana yang cocok. Akhirnya, perihal kabinet dan menteri itu prerogatifnya presiden,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menyatakan pihaknya siap menjalin komunikasi lebih intens dengan pihak Jokowi-Amin setelah penetapan pemilu ini untuk membicarakan peluang bekerja sama. PAN sendiri akan mengambil sikap dalam forum Rakernas, Juli atau Agustus ini. ”Saya kira segala sesuatunya akan cair,” katanya. (AGE/REK)