90 Persen Bahan Baku Masih Diimpor, Pertumbuhan Industri Farmasi Terhambat
BEKASI, KOMPAS – Industri farmasi merupakan salah satu industri prioritas yang digadang-gadang menjadi penggerak utama perekonomian bangsa di masa depan. Terobosan kebijakan pun diperlukan, terutama untuk memperbaiki sektor hulu.
Bahan baku yang saat ini digunakan dalam proses produksi industri farmasi masih didominasi bahan impor. Untuk itu, riset terkait pemanfaatan bahan baku lokal perlu lebih dipacu.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono menuturkan, perbaikan di sektor hulu pada industri farmasi mutlak untuk dilakukan. Pemenuhan bahan baku obat yang masih didominasi bahan impor menjadi salah satu kendala dalam peningkatan pertumbuhan industri tersebut.
“Pada triwulan I tahun 2019, pertumbuhan industri farmasi sebesar 8,12 persen. Jumlah tersebut ditargetkan bisa meningkat hingga sembilan persen. Untuk mencapai target itu harus dibetulkan dulu bagian hulunya, yakni pada pemenuhan bahan baku. Lebih dari 90 persen bahan baku obat masih impor,” katanya di sela-sela acara “Pelepasan Ekspor Perdana Produk PT Ferron Par Pharmceuticals ke Polandia” di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (2/7/2019).
Produk dari PT Ferron Par Pharmaceuticals yang diekspor secara perdana ke Polandia adalah Avamina SR®. Produk ini merupakan obat untuk penderita diabetes dengan kandungan zat aktif Metformin berteknologi Sustained Release (SR). Produk serupa sebelumnya juga diekpor oleh Ferron ke Inggris dan Belanda dengan merek dagang Glucient® SR.
Teknologi SR dirancang untuk menyederhanakan dosis dan memperpanjang durasi kerja obat. Jika produk obat diabetes pada umumnya harus dikonsumsi tiga kali sehari, produk ini cukup dikonsumsi sehari sekali saat makan malam.
Achmad mengatakan, upaya percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan telah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 6/2016. Melalui kebijakan ini, kementerian dan lembaga yang terkait harus bersinergi untuk mendukung kemandirian obat nasional. Dukungan ini telah dilakukan dengan memberikan insentif berupa Tax Allowance, Tax Holiday, serta Super Deductible Tax.
“Untuk industri yang berhasil melakukan riset dan pengembangan akan diberikan insentif berupa potongan pajak. Kami sedang dorong untuk memberikan super deductible tax sampai 300 persen. Namun, ini masih kami bicarakan dengan Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Saat ini industri farmasi di dalam negeri sebanyak 206 perusahaan. Secara rinci, ada 178 perusahaan swasta nasional, 24 perusahaan multi nasional, dan 4 perusahaan BUMN.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menuturkan, Inpers Nomor 6/2016 juga mendorong terwujudnya kemandirian bahan baku obat, baik untuk kebutuhan dalam negeri, ekspor, maupun dalam upaya meningkatkan kapasitas dan utilisasi industri farmasi. Penggunaan produk farmasi dalam negeri pun dikembangkan melalui pelaksanaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
“Pemerintah juga membantu proses hilirisasi hasil penelitian, sehingga industri farmasi dapat melakukan pengembangan produk dan menjadi industri farmasi berbasis riset,”ucapnya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito menambahkan, percepatan hilirisasi hasil riset dan penelitian saat ini sudah didukung dengan pembentukan satuan tugas lintas sektor kementerian dan lembaga, di antanya Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Perindustrian; BPOM; Kementerian Kesehatan; universitas; dan industri. Satuan tugas ini bertugas untuk menghasilkan produk riset yang inovatif dan siap diproduksi menjadi produk massal.
Direktur Utama PT Ferron Par Pharmaceuticals, Krestijanto Pandji mengungkapkan, industri farmasi sangat bergantung dengan riset dan pengembangan. Oleh karena itu, PT Ferron Par Pharmaceuticals yang merupakan bagian dari Dexa Group secara konsisten menyisihkan 5 persen dari pendapatan bersih mereka untuk kegiatan riset pengembangan produk farmasi baru.
“Walaupun sampai sekarang belum ada insentif pajak dalam melakukan riset dan pengembangan di Indonesia, kami tetap konsisten melakukannya. Sekarang di Group Dexa, ada sekitar 500 ilmuwan yang bekerja keras untuk bisa menemukan formulasi baru, produk baru, maupun pengembangan obat modern asli Indonesia,” katanya.