JAKARTA, KOMPAS— Sudah saatnya negara-negara di dunia bertindak nyata dalam mengurangi jejak karbon dan mengantisipasi dampak perubahan iklim. Semakin lama menunda bertindak, dampak perubahan iklim kian kompleks.
Hal itu ditegaskan Anne-Marie Schleich, mantan duta besar sekaligus mantan Kepala Direktorat Kebijakan Lingkungan Internasional Kementerian Luar Negeri Jerman, dalam salah satu panel pada The 3rd Centre for Strategic and International Studies-Konrad Adenauer-Stiftung (CSIS-KAS) Germany-Indonesia Strategic Dialogue Public Seminar di Jakarta, Senin (1/7/2019). Hadir juga menjadi pembicara dalam panel ini Sonny Mumbunan, peneliti di Pusat Riset Perubahan Iklim (RCCC) Universitas Indonesia.
Schleich mengatakan, lebih dari 15 tahun para pemimpin negara di dunia melakukan negosiasi perubahan iklim, mulai dari Konferensi Stockholm tahun 1972, Pertemuan Puncak Rio tahun 1992, Protokol Kyoto tahun 1992, hingga Kesepakatan Paris tahun 2015.
Sejumlah negara pun telah berusaha keras mengurangi emisi karbon dengan berbagai program, seperti mendirikan pembangkit listrik tenaga surya atau angin yang lebih berkelanjutan dibandingkan bahan bakar fosil. Menyediakan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik berkelanjutan bagi masyarakat merupakan salah satu program yang bisa dilakukan pemerintah saat ini. Di luar itu, negara juga bisa mengurangi jejak karbon dan memitigasi dampak perubahan iklim dengan menjaga ekosistem mangrove.
Di sisi lain, banyak negara berkembang menggenjot pembangunan mereka. Sayangnya, pembangunan yang dilakukan cenderung tidak berkelanjutan. Tarikan kepentingan lingkungan dan pembangunan ini yang, antara lain, membuat aksi dunia dalam mengatasi perubahan iklim tidak optimal.
”Negara harus memberikan jalan keluar agar pembangunan berkelanjutan juga tetap memberikan manfaat ekonomi,” kata Schleich. Ia mengatakan, Indonesia yang kini menjadi anggota tidak tetap Dewan keamanan PBB bisa memengaruhi agenda pembahasan pertemuan DK PBB dan mendorong topik perubahan iklim dibahas serius.
Sementara Sonny mengatakan, negara perlu melihat perubahan iklim sebagai sebuah sistem dari pembangunan berkelanjutan. Pendekatan itu menjadikan pembahasan perubahan iklim dari sekadar pemodelan biofisik ke pemodelan sosial ekonomi teknologi sehingga kebijakan yang dihasilkan tepat. Sebab, setiap kebijakan mengatasi perubahan iklim akan berdampak pada bidang sosial ekonomi.
Hal itu juga yang tampaknya mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar pertemuan puncak perubahan iklim di New York, September 2019.
Dalam pidatonya dalam acara Climate Summit di Abu Dhabi, Minggu (30/6/2019), yang dipublikasi di laman PBB, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berharap negara hadir dengan solusi-solusi. Misalnya, penerapan pajak bukan lagi pada gaji tetapi karbon, berhenti menyubsidi bahan bakar fosil, berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2020, serta infrastruktur yang dibangun harus cerdas dan ramah iklim.
”Kita butuh ekonomi hijau bukan ekonomi abu-abu. Saya meminta semua pemimpin negara juga swasta mengurangi emisi gas rumah kaca 45 persen tahun 2030 dan mencapai kondisi netral karbon 2050,” ujar Guterres.
Menurut Guterres, dunia memerlukan ekonomi pascakarbon, masyarakat yang tangguh, dan arah pembangunan yang cerdas-iklim yang bisa menyediakan kemakmuran untuk semua di planet yang sehat ini. (ADH)