Masih Banyak Pasal Bermasalah, Tunda Pengesahan RUU KUHP
›
Masih Banyak Pasal Bermasalah,...
Iklan
Masih Banyak Pasal Bermasalah, Tunda Pengesahan RUU KUHP
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil meminta DPR menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mereka meminta diadakan uji publik sejumlah pasal yang berkaitan dengan kehidupan beragama.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan menilai, sejumlah pasal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan menimbulkan keresahan jika diberlakukan. Koalisi ini antara lain terdiri dari Paritas Institute, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Human Rights Working Group (HRWG), Wahid Foundation, dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama.
Dalam konferensi pers yang berlangsung di Jakarta, Selasa (2/7/2019), dijelaskan, pasal-pasal di RKUHP yang bermasalah itu antara lain pasal 2, 250, 313, 315, 316, dan 503.
Pada Pasal 2 RKUHP dinyatakan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat yang berada tidak diatur KUHP, tetap berlaku. Koalisi menilai ketentuan ini membuka celah penerapan hukum diskriminatif yang terlihat dalam sejumlah peraturan daerah.
Selanjutnya pada pasal 313, kata ”penghinaan” sebaiknya diganti dengan ”siar kebencian” guna melindungi pemeluk agama dari kejahatan. Hal ini sejalan dengan kecenderungan dunia internasional, sebagaimana dalam evolusi Resolusi Dewan HAM yang mengganti ”penodaan agama” menjadi ”memerangi toleransi”. Kata hasutan pada pasal 315 mengandung multitafsir, begitu juga dengan kata gaduh dalam pasal 316.
Selain itu, koalisi juga menyoroti judul Bab VII ”Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Koalisi menilai, judul itu salah secara bahasa ataupun konsep. Agama tidak bisa menjadi subyek hukum. Yang menjadi subyek hukum adalah penganutnya.
Pemerintah dan DPR menargetkan pembahasan RKUHP selesai pada pertengahan Juli ini. Dengan demikian, RUU itu dapat disahkan dalam Rapat Paripurna DPR yang dihadiri pemerintah pada Agustus atau September (Kompas, 22/6/2019).
Direktur Paritas Institute Penrad Siagian menilai, pemerintah tidak perlu terburu-buru mengesahkan RUU itu. Menurut dia, pengesahan RKUHP ditunda dulu hingga pemerintah membuka dialog untuk menjernihkan beberapa definisi sejumlah pasal di atas. Ini bertujuan agar RKUHP tidak berpotensi membuka konflik dan menyuburkan intoleransi.
Direktur ILRC Siti Aminah menambahkan, jika penundaan pengesahan RKUHP berlangsung hingga anggota DPR baru dilantik, ada baiknya dibuat peraturan yang menjamin RKUHP tetap dibahas di DPR periode 2019-2014. Aturan ini akan memastikan pembahasan RKUHP tidak dimulai dari awal lagi. ”Kan, boleh saja ada RUU dibahas dua periode. Sebab, ada ribuan pasal di KUHP itu yang akan dibahas,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari DPR Taufiqulhadi menyatakan, panitia sudah memikirkan detail setiap pasal yang berpotensi bermasalah itu. Oleh karena itu, menurut dia, ada baiknya RKUHP disahkan dulu. Soal ada kekurangan di sana-sini, bisa diperbaiki di hari depan.
”Kalau (RKUHP) tidak selesai sekarang, juga kecil kemungkinan akan disahkan di periode mendatang,” katanya.