Kelompok-kelompok seni yang berminat mengikuti Festival Lima Gunung (FLG) XVIII membeludak. Pada pergelaran yang ke-18 tahun ini, festival ini akan mengambil tema ”Gunung Lumbung Budaya” dan diikuti sedikitnya 77 kelompok seni dari sejumlah daerah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Kelompok-kelompok seni yang berminat mengikuti Festival Lima Gunung (FLG) XVIII membeludak. Pada pergelaran yang ke-18 tahun ini, festival ini akan mengambil tema ”Gunung Lumbung Budaya” dan diikuti sedikitnya 77 kelompok seni dari sejumlah daerah.
Sutanto Mendut, budayawan dan tokoh Komunitas Lima Gunung (KLG), mengatakan, FLG XVIII tahun ini diagendakan 5-7 Juli. Namun, sejumlah pentas seni akan digelar di luar tanggal itu dan tetap dianggap dalam rangkaian Festival Lima Gunung.
”Ada permintaan dari kelompok teater untuk pentas pada 11 Juli. Sementara itu, sekelompok seniman lukis juga ingin menyelenggarakan pameran pada 4 Juli. Silakan saja, kami bisa melaksanakannya karena FLG bukan seperti agenda kesenian yang diselenggarakan pemerintah,” ujarnya.
Hal itu disampaikan Sutanto di sela-sela acara pra-FLG yang ditandai peluncuran buku Joko Aswoyo, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, di Studio Mendut, di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Selasa (2/7/2019). KLG adalah kelompok kesenian yang berasal dari lima gunung di wilayah Magelang dan sekitarnya, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan perbukitan Menoreh.
Sutanto mengatakan, FLG diselenggarakan dengan mengacu pada tiga asas. Pertama, asas kemandirian, yakni FLG tidak dilaksanakan dengan bantuan dana dari donatur mana pun.
Kedua, segala atribut pentas dalam FLG juga harus menggunakan bahan-bahan dari alam. Bukan barang-barang yang bisa dibeli di toko.
Ketiga, penyelenggaraan FLG dan interaksi antarseniman KLG juga harus selalu dilingkupi suasana guyub rukun dan tidak terpengaruh persoalan apa pun, termasuk politik.
Ketua KLG Supadi Haryanto mengatakan, FLG XVIII kali ini mengambil tema ”Gunung Lumbung Budaya”. Selama tiga hari, 5-7 Juli, akan ada 77 kelompok kesenian yang menampilkan pentas di ajang FLG. Kelompok-kelompok kesenian ini berdatangan dari sejumlah kota di seluruh Indonesia.
Supadi mengatakan, pendaftaran peserta KLG dibuka sejak dua bulan lalu. Sekitar sepekan lalu, kuota peserta sudah penuh. Namun, respons dari kelompok-kelompok kesenian diakui sangat tinggi.
”Hingga pendaftaran ditutup, kami masih saja menerima pertanyaan dan permintaan dari banyak grup kesenian,” ujarnya.
Selama tiga hari tersebut, pentas kesenian KLG akan terus berlangsung, dari pukul 10.00 hingga pukul 00.00. Setiap grup diberi alokasi waktu untuk pentas berkisar 10-15 menit.
Hingga pendaftaran ditutup, kami masih saja menerima pertanyaan dan permintaan dari banyak grup kesenian.
Mulyani (54), Ketua Sanggar Ngesti Laras Wonosobo, mengatakan, dirinya bersama kelompok keseniannya ingin ikut tampil dalam FLG. Namun, saat akan mendaftar, panitia mengatakan, jumlah peserta FLG sudah mencukupi.
Meski demikian, dia berharap bisa tampil pada tanggal lain. ”Mungkin nantinya kami bisa ikut pentas bersamaan dengan pentas kelompok teater dari Sumenep pada 11 Juli mendatang,” ujarnya.
Selasa (2/7), Joko Aswoyo, dosen pengajar di ISI Surakarta, meluncurkan buku karyanya yang berjudul Sumpah Tanah. Buku ini ditulis dari hasil penelitian dan pengamatan Joko selama sembilan tahun terakhir.
Joko mengatakan, buku ditulis berdasarkan pengalamannya mengikuti acara-acara yang diselenggarakan KLG, berikut acara-acara di sekitar tempat tinggal para seniman. Dia juga melihat reaksi warga dan para seniman terhadap situasi sekitar, termasuk saat terjadi bencana alam. Dari pengalaman tersebut, dia melihat bahwa tanah atau bumi yang dipijak menjadi bagian penting dan dijunjung tinggi oleh warga.
Tidak sekadar kemandirian dalam berkesenian, mereka menjadikan kesenian sebagai pusat atau fokus utama kehidupan mereka.
Joko mengatakan, buku Sumpah Tanah menyajikan sebagian kecil dari kisah kehidupan para seniman KLG. Isi buku ini, menurut dia, masih harus terus diperbaiki dan dikembangkan sesuai ragam perilaku berkesenian para seniman.
Menurut Joko, KLG dan masyarakat di sekitarnya menarik untuk ditulis karena ada begitu banyak hal unik dalam kehidupan mereka. Tidak sekadar kemandirian dalam berkesenian, mereka menjadikan kesenian sebagai pusat atau fokus utama kehidupan mereka.