Tidak ada pembahasan soal taktik, pemain cedera, ataupun hal-hal teknis sepak bola lainnya dari mulut Pelatih Chile Reinaldo Rueda menjelang duel melawan Peru di semifinal Copa America 2019, Kamis (4/7/2019) pukul 07.30 WIB. Ia justru mengungkapkan hal-hal abstrak, antara lain soal cinta.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Sepak bola tidak melulu soal fisik dan teknik. Faktor mental atau pikiran bisa menjadi penentu pada duel Chile versus Peru di semifinal Copa America 2019, Kamis pagi WIB di Porto Alegre.
PORTO ALEGRE, SELASA — Tidak ada pembahasan soal taktik, pemain cedera, ataupun hal-hal teknis sepak bola lainnya dari mulut Pelatih Chile Reinaldo Rueda menjelang duel melawan Peru di semifinal Copa America 2019, Kamis (4/7/2019) pukul 07.30 WIB. Ia justru mengungkapkan hal-hal abstrak, antara lain soal cinta.
”Yang kamu butuhkan hanyalah cinta,” demikian lirik lagu The Beatles. Lagu yang populer pada akhir 1960-an itu relevan menggambarkan situasi di Chile saat ini, khususnya pemainnya, Alexis Sanchez. Penyerang tersubur sepanjang masa ”La Roja”, julukan timnas Chile, dengan koleksi 43 gol itu sempat mengalami kemerosotan fisik dan dirongrong cedera sepanjang musim 2018-2019.
Alih-alih tampil dan menjadi bintang, ia lebih sering menjadi penonton di klubnya, Manchester United. Namun, di Copa America Brasil, Sanchez menjadi sosok berbeda. Ia jauh lebih tajam, lincah, dan ngotot. Ia sampai mengabaikan sakit di pergelangan kaki ketika melawan Ekuador pada penyisihan grup. Dengan kaki diperban, ia mencetak gol kemenangan Chile pada laga itu. Total dua gol ia ciptakan di Brasil.
”Cinta. Di timnas (Chile), dengan banyaknya perhatian didapat, mereka tidak ingin pergi. Ikatan emosional sangat terasa di sini. Barangkali, dia tidak merasakan afeksi yang sama dengan di MU,” ujar Rueda yang berupaya menebar virus cinta ke timnya.
Menariknya, Rueda sebetulnya merupakan sosok yang tidak disukai pendukung Chile karena mencoret kapten dan kiper berpengalaman, Claudio Bravo, dari skuad tim itu. Namun, Rueda punya alasan mengambil keputusan sulit itu. Pahlawan Chile dalam adu penalti pada dua final Copa America, yaitu 2015 dan 2016, itu kesulitan menjaga harmoni tim dan kerap berseteru dengan Arturo Vidal.
Perseteruan itu tentu merusak psikologis tim, terbukti dengan gagalnya mereka lolos ke babak utama Piala Dunia Rusia 2018. Meskipun kerap disoraki pendukung sendiri, Rueda menjawabnya dengan kemenangan demi kemenangan serta tiket ke semifinal Copa America 2019. Capaiannya itu bisa dianggap sebagai prestasi, mengingat skuad La Roja saat ini telah menua dan dianggap tidak cukup kompetitif untuk mengejar trofi juara di Brasil.
Delapan, dari total 11 pemain inti Chile saat menyingkirkan Kolombia di perempat final telah berusia di atas 30 tahun. Strikernya, Eduardo Vargas, juga bakal menginjak 30 tahun pada November. Tak heran, Chile bak petinju legendaris Muhammad Ali di pengujung kariernya. Tim itu kerap tidak lagi mampu tampil agresif, ngotot, dan menekan tinggi sepanjang laga.
Kompetitif
Meskipun fisik mereka telah menurun, setelah melewati dua edisi Copa America 2015 dan 2016 serta Piala Konfederasi Rusia 2017, Chile mampu kompetitif di Brasil. Kuncinya adalah pada kekuatan pikiran. Seperti Ali, sosok yang dikenal sebagai pakar dari permainan pikiran, Chile mengalihkan kekuatannya pada aspek mental. Aspek itu sangatlah vital pada babak gugur, yaitu ketika adu penalti menjadi gerbang terakhir penentu hasil akhir laga.
Chile seperti manajer tenar, Jose Mourinho, yang kerap menyerang lawan-lawannya lewat mulutnya yang sesumbar dan tajam. ”Kami ingin meninggalkan warisan sebagai juara beruntun untuk ketiga kalinya (di Copa America). Untuk itu, kami perlu tampil sempurna dan menang secara meyakinkan (di semifinal),” tukas Vidal, gelandang Chile, penuh percaya diri.
Kekuatan mental juga menjadi titik perhatian Peru. Tim itu ingin mengulangi kejutan di perempat final, yaitu saat menyingkirkan favorit juara lainnya, Uruguay, lewat adu penalti. Peru memeragakan taktik rope a dope yang diperagakan Ali saat menghadapi mantan juara dunia tinju kelas berat, George Freeman, pada 1974. Peru membiarkan Uruguay lebih aktif menyerang, kehabisan tenaga, kalah psikis, dan memukulnya lewat adu penalti.
Taktik serupa agaknya diterapkan kembali saat menghadapi Chile. ”Kami dalam kondisi (psikis) yang tepat menghadapi laga semacam ini. Barangkali ini adalah laga yang lebih besar dari sebelumnya. Namun, kami dapat tampil lebih baik,” ujar Ricardo Gareca, Pelatih Peru. (AFP)