Pertaruhan Masa Depan Pemberantasan Korupsi
Pansel KPK tengah menjaring putra-putri terbaik bangsa ini untuk menjadi calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Nasib KPK dan pemberantasan korupsi empat tahun ke depan dipertaruhkan.
Sudah dua pekan lamanya Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2019-2023 membuka pendaftaran bagi yang tertarik duduk sebagai komisioner KPK.
Hingga 1 Juli 2019, tercatat 93 pendaftar dari berbagai kalangan dengan ragam latar belakang profesi yang menyerahkan berkas kepada panitia. Jumlah ini kurang menggembirakan mengingat pendaftaran segera ditutup pada 4 Juli 2019.
Padahal, seleksi komisioner KPK merupakan sesuatu yang krusial. Tidak sekadar memilih siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan, tetapi kendali pemberantasan korupsi juga berada di tangan lima orang yang nantinya terpilih. Minimnya pendaftar dapat berdampak pada sedikitnya pilihan kandidat yang layak.
Para anggota pansel pun punya beban kerja yang berat. Apabila publik sempat meragu dengan komposisi Pansel Capim KPK yang dibentuk Presiden Joko Widodo pada 17 Mei 2019, kini waktunya bagi pansel untuk membuktikan kepiawaiannya dalam menghasilkan orang-orang ”pilihan” dalam proses seleksi yang transparan dan independen dengan mengedepankan integritas.
Penting untuk disadari, masa depan KPK dan pemberantasan korupsi di negeri ini ada di pundak sembilan anggota Pansel KPK. Hitam putihnya KPK akan ditentukan para pemimpinnya di masa mendatang.
Tantangan
Prestasi pimpinan KPK periode 2015-2019 dalam bidang penindakan bisa dibilang signifikan. Pada hampir empat tahun terakhir, KPK disebut telah melakukan operasi tangkap tangan paling banyak dihitung sejak berdiri.
Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) menemukan sejumlah masalah yang terjadi dalam tubuh KPK. Salah satu di antaranya lambatnya penanganan sejumlah kasus besar. Misalnya, kasus korupsi Bank Century, kasus pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP- elektronik), kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia, kasus rekening gendut pejabat Polri, kasus dugaan korupsi yang berkaitan dengan PT Newmont Nusa Tenggara, dan tindak pidana pencucian uang Setya Novanto yang tak ada kabarnya. Belum lagi kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikejar masa kedaluwarsa.
Di sisi lain, gejolak internal KPK yang salah satunya dipicu dengan loyalitas ganda pegawai KPK yang berasal dari sejumlah instansi, seperti kepolisian dan kejaksaan, berpotensi mengganggu jalannya penanganan perkara. Kemampuan pimpinan dalam memitigasi konflik dan ketegasan sikap menjaga marwah lembaga anti-rasuah belum tecermin dari bertubi- tubinya permasalahan internal yang tidak tuntas dan berdampak pada soliditas.
Transparency Internatinonal dalam laporan berjudul ”Strengthening Anti-corruption Agencies in Asia Pacific” memberikan sejumlah rekomendasi bagi Indonesia. Salah satunya adalah pemerintah perlu memenuhi kebutuhan KPK agar dapat meningkatkan kapasitasnya dalam pemberantasan korupsi dan investigasi kasus. Proses pemilihan pimpinan KPK ini dapat menjadi jalan.
Pansel KPK perlu memahami banyak hal ini. Salah seorang anggota pansel KPK, Diani Sadiawati, saat berbicara dengan Kompas pada Sabtu (22/6/2019) menyebutkan bahwa secara internal setidaknya ada hal-hal terkait kepemimpinan dan kewibawaan yang mesti dipahami. Sementara untuk eksternal, terdapat tantangan mengenai keberanian dan kemauan untuk melakukan sinergi dengan institusi lain.
Diani meminta agar para calon yang hendak mendaftar dapat mempelajari dengan baik kondisi-kondisi yang sekarang terjadi pada KPK.
”Dan (kemudian) mencari solusi yang out of the box begitu,” sebut Diani.
Menurut Diani, calon pimpinan KPK sebaiknya tidak berhenti pada syarat-syarat formal yang sudah banyak dipublikasikan dan tersebar di tengah masyarakat. Ia menambahkan, pada saat seleksi wawancara kelak, ia akan melihat apakah calon pimpinan tersebut memahami kondisi yang terjadi berikut aturan-aturan internal dan kode etik yang ditetapkan.
”Saya pengin kondisi riilnya itu dipahami benar-benar oleh calon pimpinan sehingga (ketika) dia terpilih nanti, enggak kaget gitu lho,” sebut Diani yang juga mendorong agar KPK mampu membina kepolisian agar lebih baik serta tetap menjaga independensi dan netralitas.
Loyalitas ganda
Tak hanya independensi dan integritas, Juru Bicara KPK Febri Diansyah berpendapat, pimpinan KPK yang terpilih diharapkan dapat mengatasi persoalan loyalitas ganda yang kini mendera lembaga.
”Pimpinan KPK yang memiliki loyalitas tunggal merupakan keniscayaan. Loyalitas pada pemberantasan korupsi, bukan pada kolega atau institusi sebelumnya ia bekerja,” ungkap Febri.
Ia pun berharap proses seleksi pimpinan KPK berjalan bersih sehingga menghasilkan pemimpin KPK yang berintegritas dan independen.
”Ini memang akan menjadi titik yang rawan tahun ini. Rawan bagi nasib pemberantasan korupsi ke depan jika proses seleksi ini gagal memilih orang yang tepat,” ujar Febri.
Sementara Donal Fariz dari ICW mengingatkan agar pansel tetap fokus menjaring calon pimpinan dengan mempertimbangkan rekam jejaknya dalam gerakan antikorupsi. Isu lain, seperti terorisme, lanjut Donal, bukan menjadi fokus utama sehingga harus dipahami pansel. Ia juga mengimbau kepada institusi yang ingin mengirimkan jajarannya, seperti kepolisian dan kejaksaan, agar tak menyodorkan calon yang bermasalah dan terafiliasi dengan pihak yang memiliki kepentingan untuk melemahkan KPK.
Mengutip laman media South China Morning Post di alamat scmp.com, tercantum frase ”Misi yang Hampir Mustahil” untuk menggambarkan tugas yang dipercayakan kepada Sir Jack Cater sebagai komisioner pertama Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong pada tahun 1974.
Cater disebut sebagai sosok yang punya prinsip teguh, standar moral ketat, dan keyakinan kuat pada keadilan sosial. Praktik korupsi dalam sektor publik di Hong Kong pada tahun 1960-an dan 1970-an, sebagaimana dikutip dari laman resmi icac.org.hk, disebut merajalela. Misalnya saja, kru ambulan disebut akan menuntut diberikan ”uang teh” sebelum menjemput orang sakit.
Di laman tersebut juga dituliskan bahwa korupsi juga telah menjadi persoalan serius di satuan kepolisian. Pada saat itu, hukum dan ketertiban berada di bawah ancaman. Konflik dengan institusi kepolisian di masa-masa awal ICAC juga cenderung terjadi. Mirip dengan KPK saat ini.
Namun ternyata, ”misi yang hampir mustahil” pada saat awal ICAC didirikan itu mampu dilakukan. Saat ini Hong Kong memiliki indeks persepsi korupsi yang cukup memuaskan. Pada 2018, Hong Kong di peringkat ke-14 dari 180 negara dengan indeks 76. Indonesia sendiri menduduki posisi ke-89 dengan indeks 38. Padahal, target dalam empat tahun ini, IPK Indonesia dapat melampaui skor 40.
Ya, rasanya tak mustahil melihat perjalanan Hong Kong yang jatuh bangun selama 65 tahun memberantas korupsi. Namun, apakah harapan Indonesia untuk bebas korupsi harus terperangkap dalam kotak pandora atau menunggu lebih dari setengah abad? Kinerja pansel pun dinanti. Jangan kecewakan kami!