Ratusan Burung Tangkapan Alam di Riau Disembunyikan di Roda Depan Bus
›
Ratusan Burung Tangkapan Alam ...
Iklan
Ratusan Burung Tangkapan Alam di Riau Disembunyikan di Roda Depan Bus
Petugas dari Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung menyita 156 ekor burung berbagai jenis yang hendak dijual ke Jakarta. Berbagai jenis burung itu dikirim dengan modus dititipkan melalui bus antarkota antarprovinsi.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS - Petugas dari Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung menyita 156 ekor burung berbagai jenis yang hendak dijual ke Jakarta. Berbagai jenis burung itu dikirim dengan modus dititipkan melalui bus antarkota antarprovinsi. Dalam jangka panjang, perburuan burung liar ini mengancam populasi.
Burung-burung sitaan itu langsung direhabilitasi petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu di Taman Satwa Lembah Hijau, Bandar Lampung, Selasa (7/2/2019). Kawasan itu dipilih karena memiliki tempat penangkaran dan rehabilitasi satwa sebelum dilepas ke alam bebas.
Saat ini, burung-burung tersebut belum dapat dilepasliarkan di alam karena kondisinya lemas. Lebih dari 20 ekor burung mati.
Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung AA Oka Mantara mengungkapkan, burung itu ditemukan saat petugas sedang melakukan pemeriksaan di pintu masuk Pelabuhan Bakauheni, Senin (1/7), sekitar pukul 05.30. Saat itu, petugas balai dibantu polisi dari Polsek Kawasan Pelabuhan Bakauheni sedang memeriksa bus Lorena B 7416 XA yang berangkat dari Pekanbaru, Riau. Petugas menemukan tujuh keranjang berisi berbagai jenis burung yang disimpan pada bagian roda depan bus.
Berbagai jenis burung tersebut, antara lain gelatik sebanyak 40 ekor, kapas tembak (11 ekor), cucak ranting (13 ekor), dan kolibri (92 ekor). Sebagian besar burung merupakan jenis burung berkicau.
Dari hasil pemeriksaan terhadap sopir bus, ia mengaku tidak mengetahui siapa pemilik burung tersebut. Petugas membiarkan sopir melanjutkan perjalanan.
Menurut Oka, pihaknya langsung berkoordinasi dan menyerahkan satwa tersebut kepada petugas Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. Selanjutnya, petugas BKSDA yang akan melepasliarkan di alam.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Hifzon Zawahiri menuturkan, dari hasi pemeriksaan petugas, burung itu diduga berasal dari hutan di wilayah Riau. Setelah diburu, burung dikirim dengan cara dititipkan melalui bus untuk dijual ke Jakarta.
"Modus tersebut paling sering dilakukan dalam perdagangan satwa liar maupun satwa dilindungi. Untuk mengelabui petugas, keranjang berisi burung tidak lagi diletakkan di dalam bagasi, tapi disembunyikan di bagian roda depan. Kami sedang menyelidiki siapa pemiliknya," kata Hifzon.
Kondisi tersebut, membuat sebagian burung-burung mati karena terpapar panas dari mesin bus. Selain itu, burung-burung juga tidak diberi cukup makanan dan minuman selama perjalanan.
Meski tidak masuk kategori satwa dilindungi, peredaaran satwa liar tidak bisa dilakukan sembarangan. Pihak yang hendak melakukan jual beli satwa harus memiliki surat angkut yang dikeluarkan departemen kehutanan wilayah setempat. Selain itu, tidak semua pihak mendapat izin usaha untuk perdagangan satwa liar.
Petugas medis satwa di Taman Satwa Lembah Hijau Rasyid Ibransyah menjelaskan, sebagian besar burung itu mengalami malnutrisi, dehidrasi, dan kelelahan setelah dikurung dalam keranjang lebih dari satu malam. Selain itu, burung juga dalam kondisi stres dan belum mau terbang ke alam bebas. Untuk itu, diperlukan pemulihan selama beberapa hari.
Direktur Eksekutif Flight Protecting Indonesia\'s Birds Marison Guciano mengungkapkan, sedikitnya ada 10.000 ekor burung yang diselundupkan dari Sumatera menuju Jawa setiap pekan. Pelabuhan Bakauheni menjadi jalur utama penyelundupan satwa liar tersebut.
Ia menilai, kondisi itu bakal mengancam populasi burung di alam bebas. Untuk itu, pemerintah daerah perlu merancang aturan terkait larangan memburu burung di alam bebas. Sebab, pelaku perburuan satwa kerap tidak diproses secara hukum.