Wartawan senior Kompas, Marcus Supriadi (58), Rabu (26/6/2019) malam pekan lalu menelepon rekan-rekan produksi tempat ia sebelumnya bertugas. Kebiasaannya memang begitu. Selalu menyapa dan menanyakan kabar teman, bersenandung, dan yang selalu ditunggu, membawa makanan untuk 20-30 temannya.
Malam itu, Mas Santjuk, demikian ia dipanggil, memang tidak membawa makanan karena sedang dirawat di Institut Jantung Negara (IJN) Malaysia di Kuala Lumpur. Ia membawa kabar, esok hari Kamis (27/6) akan dioperasi jantung dan mohon doa.
Permohonan yang tentu saja kami penuhi. Telepon seluler berpindah dari satu teman ke teman lain, semua sama memanjatkan doa untuk kesembuhan Mas Santjuk.
Malam itu, sebelum menutup telepon, kami perdengarkan lagu ”Ulan Andung-andung”, lagu khas Banyuwangi yang selalu didengarkan dan dilantunkan Mas Santjuk di kantor sebelum ia pensiun, 1 April 2019. Dari seberang telepon, terdengar tawa riang Mas Santjuk. Lalu ia ikut bersenandung tembang ”Ulan Andung-andung”.
Wartawan peneliti
Marcus Supriadi merupakan angkatan pertama wartawan peneliti di Litbang Kompas pada 1987 sebagai wartawan peneliti. Bagi teman seangkatannya, seperti Bambang Sigap Sumantri, Marcus yang berinisial MSH adalah orang yang sangat ramah, selalu ceria, penuh perhatian pada teman dan selalu ingin sempurna dalam mengerjakan tugas.
Selama berkarier di Kompas, Santjuk, selain menjadi wartawan peneliti, juga pernah menjadi Kepala Biro Kalimantan, Editor Metropolitan, Editor Nusantara, menangani Kompas.com serta e-paper Kompas, dan terakhir Wakil Manajer Produksi. Ia memutuskan pensiun dini. ”Karena saya ingin jalan-jalan keliling Nusantara bersama istri,” ujarnya.
Niat itu belum sepenuhnya terpenuhi. Senin (1/7) siang, kabar mengejutkan datang dari Kuala Lumpur. Tuhan memanggil Santjuk. Rupanya tembang ”Ulan Andung-andung” merupakan tembang terakhir yang kami dengar dilantunkan Mas Santjuk. Pribadi yang tak pernah membuat sakit hati teman, pribadi yang selalu ramah. Selamat jalan, Santjuk....(THY)