Tujuh Perwira Tinggi Polri yang Daftar Pimpinan KPK Belum Serahkan LHKPN
›
Tujuh Perwira Tinggi Polri...
Iklan
Tujuh Perwira Tinggi Polri yang Daftar Pimpinan KPK Belum Serahkan LHKPN
Menjelang penutupan pendaftaran calon pimpinan KPK pada Kamis (4/7/2019), tujuh dari sembilan perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia yang ikut mendaftar ternyata belum melaporkan harta kekayaan periode 2019.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang penutupan pendaftaran calon pimpinan KPK pada Kamis (4/7/2019), tujuh dari sembilan perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia yang ikut mendaftar ternyata belum melaporkan harta kekayaan periode 2019. Bentuk ketidakpatuhan ini dinilai penting untuk menjadi parameter dalam memilih calon pimpinan KPK.
”Kami percaya komitmen Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan jajarannya dalam upaya pencegahan korupsi, termasuk laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Apalagi, terdapat Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian LHKPN di Lingkungan Polri,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Febri memandang, LHKPN merupakan salah satu bentuk komitmen kelembagaan dari aspek regulasi. Salah satu ruang lingkup pengaturannya yang diatur dalam Pasal 9 adalah kewajiban melaporkan LHKPN secara periodik setiap tahun paling lambat pada 31 Maret tahun berikutnya.
”Pada dasarnya, seluruh perwira Polri tersebut pernah melaporkan LHKPN ke KPK. Namun, terdapat beberapa nama yang belum atau sudah melaporkan, namun terlambat melaporkan LHKPN secara periodik untuk tahun 2018,” kata Febri.
Meski terlambat, dua dari sembilan perwira tinggi Polri yang telah mendapatkan rekomendasi internal dari Kepala Polri telah melaporkan LHKPN periode 2019. Mereka adalah Inspektur Jenderal (Irjen) Antam Novambar dan Irjen Dharma Pongrekum, yang masing-masing melaporkan LHKPN pada Juli dan Mei 2019.
Sementara tujuh perwira tinggi Polri lainnya belum melaporkan kembali LHKPN periode 2019. Ketujuh perwira tinggi Polri tersebut adalah Irjen Coki Manurung (2018), Irjen Abdul Gofur (2017), Brigadir Jenderal (Pol) Muhammad Iswandi Hari (2015), Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto (2015), Brigjen (Pol) Agung Makbul (2014), Brigjen (Pol) Juansih (2007), dan Brigjen (Pol) Sri Handayani (2007).
Peraturan Kapolri itu sejalan dengan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, khususnya tentang pelaporan periodik setiap tahun sebagaimana diatur di Pasal 5 dalam peraturan tersebut.
Sebagai gambaran, angka pelaporan LHKPN Polri untuk pelaporan tahun 2018 adalah sebesar 69,01 persen. Dengan kata lain, dari 16.245 orang yang wajib lapor LHKPN, lebih dari 11.000 orang telah melaporkan kekayaan mereka secara periodik untuk tahun 2018.
Secara terpisah, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menyampaikan bahwa keterlambatan pelaporan LHKPN bahkan belum melaporkan sejak 2007 harus menjadi catatan penting bagi panitia seleksi calon pimpinan KPK. Sebab, hal ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap hukum, termasuk KPK.
”Kita harus memastikan yang menjadi pimpinan KPK itu tidak hanya mengerti hukum, tapi juga patuh terhadap hukum, apalagi mereka seorang perwira tinggi Polri,” ujarnya.
Menurut Bivitri, pelaporan LHKPN secara berkala menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan rekam jejak. Laporan ini untuk memastikan bahwa tidak ada harta kekayaan yang didulang secara mendadak.
”Buat saya, itu (pelaporan LHKPN) menjadi salah satu parameter yang baik bagi pansel untuk menilai bahwa tingkat ketidakpatuhannya rendah. Dengan begitu, sebenarnya tidak layak untuk lolos menjadi pimpinan KPK,” kata Bivitri.