Danau, Magnet Wisata Kekinian
Danau Tamiyang di Desa Mandikapau Barat, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang semula penuh eceng gondok menjadi obyek wisata. Setiap akhir pekan, danau itu ramai dikunjungi.
Minggu (30/6/2019), Aditya (37) bersama teman-temannya asyik berfoto di Danau Tamiyang. Mereka rela terkena terik matahari demi mendapatkan foto bagus dengan telepon seluler.
Setelah berfoto di jembatan panjang warna-warni, mereka mengambil gambar di beberapa tempat swafoto kekinian dan bermacam model. Latar danau, hutan, dan bukit membuat tempat-tempat itu kian memikat. ”Ternyata, oke juga tempatnya. Sebelumnya, hanya dengar cerita dari teman. Karena penasaran, saya datang ke sini,” ujar Aditya, perantau asal Lamongan, Jawa Timur, yang tinggal di Banjarmasin, Kalsel.
Untuk masuk ke lokasi wisata Danau Tamiyang, setiap pengunjung dipungut retribusi Rp 5.000 per orang. Retribusi itu hanya dikenakan pada orang dewasa, anak-anak boleh masuk gratis. ”Banyak tempat bagus untuk berfoto. Anak-anak juga senang bermain di sini,” kata Norhasanah (35), pengunjung asal Kecamatan Bataguh, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Kendaraan pribadi ditarik ongkos parkir, yakni Rp 2.000 untuk sepeda motor dan Rp 5.000 untuk mobil, tanpa batasan waktu. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Gawi Manuntung Mandikapau Barat Syarifuddin mengatakan, dengan membayar parkir dan retribusi masuk, pengunjung bisa berwisata sepuasnya di Danau Tamiyang.
”Untuk berfoto di tempat-tempat swafoto yang ada tidak lagi dipungut biaya, kecuali kalau mau menikmati wahana permainan, seperti sepeda air, banana boat, speedboat, dan naik kelotok,” katanya.
Berbenah diri
Kepala Desa Mandikapau Barat Abdul Basit menuturkan, Danau Tamiyang mulai menjadi tempat wisata pada akhir 2017. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 3 Februari 2018, obyek wisata Danau Tamiyang diresmikan Bupati Banjar KH Khalilurrahman.
Danau Tamiyang yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kabupaten dan 60 km dari pusat Banjarmasin terbentuk akibat pembendungan Sungai Martapura. Sekitar 1 km di bagian hilir danau terdapat Bendung Karang Intan yang berfungsi untuk irigasi pertanian dan sumber air baku PDAM.
Sebelum danau terbentuk, menurut Basit, perkampungan warga Desa Mandikapau Barat berada di pesisir Sungai Martapura. Pada 1991-1992, perkampungan warga dipindah ke daratan yang lebih tinggi karena daerah pesisir tenggelam akibat pembendungan sungai.
Sejak 1992, Sungai Martapura di Mandikapau Barat yang lebarnya semula 75 meter menjadi danau dengan lebar 300 meter. Untuk akses warga menuju kebun dan permukiman satu RT di seberang danau, sejak 1995, dibangun jembatan melintasi danau. Semula, jembatan hanya berupa titian kecil dari bambu dengan panjang sekitar 300 meter. Beberapa tahun kemudian, dilakukan pengurukan untuk jalan dan dibangun jembatan dari kayu ulin sepanjang 130 meter.
”Waktu itu belum terpikir membuat tempat wisata. Danau Tamiyang dibiarkan saja dan menjadi lokasi tambang galian C. Permukaan danau juga dipenuhi eceng gondok seluas 5 hektar,” tutur Basit.
Dana desa
Memasuki tahun 2017, dalam musyawarah desa, warga sepakat membersihkan Danau Tamiyang dari eceng gondok. Setelah danau bersih, dalam musyawarah selanjutnya disepakati menjadikan Danau Tamiyang sebagai tempat wisata. Semua dikerjakan secara swadaya oleh masyarakat desa.
”Tahun 2018, kami menganggarkan Rp 125 juta dari dana desa untuk mempercantik jembatan dengan diberi pagar dan hiasan, mendirikan warung, serta membuat tempat parkir dan tempat swafoto di Danau Tamiyang,” katanya.
Menurut Basit, dana itu tidak cukup. Karena itu, pembenahan obyek wisata dilakukan secara bertahap memanfaatkan pendapatan dari retribusi masuk dan parkir.
Tahun ini, pembenahan dilakukan menggunakan dana alokasi khusus Rp 1,3 miliar dari pemerintah pusat yang disalurkan melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar. ”Kami tidak akan berhenti sampai di sini karena kami sadar obyek wisata kalau begitu-begitu saja, pengunjung akan bosan. Kami akan terus berinovasi, melakukan pembenahan dan pengembangan,” ucap Basit.
Ekonomi meningkat
Basit mengatakan, keberadaan obyek wisata Danau Tamiyang meningkatkan pendapatan asli desa dan perekonomian warga. Anak-anak muda di desa dengan luas wilayah sekitar 800 hektar dan berpenduduk lebih kurang 1.700 orang itu mendapat penghasilan tambahan dengan mengurus parkir. Sementara ibu-ibu mendapat penghasilan lewat membuka warung.
Setiap akhir pekan, tidak kurang dari 500 orang berwisata ke Danau Tamiyang. Pada saat liburan, misalnya Lebaran, jumlah pengunjung bisa melonjak sampai 1.000 orang. Mereka kebanyakan datang dari sejumlah kota di Kalsel dan Kalteng. Sesekali datang wisatawan dari luar negeri.
”Pendapatan dari retribusi masuk dan parkir dibagi untuk petugas jaga 30 persen dan untuk pendapatan asli desa (PAD) 70 persen. Tahun ini, PAD dari obyek wisata Danau Tamiyang ditargetkan Rp 50 juta,” katanya.
Nur Habibah (23), warga yang membuka warung di Danau Tamiyang, menyatakan, hasil jualannya cukup lumayan. ”Setiap Minggu, ulun (saya) berjualan di sini karena pengunjung ramai. Hari-hari lain berjualan di depan rumah. Akhir pekan, sehari berjualan bisa dapat Rp 300.000-Rp 500.000, hampir menyamai pendapatan 2-3 hari berjualan di rumah,” kata ibu satu anak itu.
Syarifuddin mengatakan, warga yang berjualan selalu diingatkan agar tidak menjual barang, makanan, dan minuman dengan harga semaunya kepada pengunjung. Mereka tetap harus menjual sesuai standar harga pasar.
”Di sini, kami berupaya menerapkan dan menjaga sapta pesona (keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan). Kami ingin pengunjung yang datang tidak kecewa dan mau datang lagi ke sini,” katanya.
Pokdarwis Gawi Manuntung juga terus mempromosikan obyek wisata Danau Tamiyang agar semakin dikenal luas dan menarik wisatawan. ”Promosi gencar dilakukan lewat media sosial oleh anak-anak muda di desa kami,” ujar Syarifuddin.