Warga Kota Surabaya terus menggalakkan gaya hidup bebas sampah, terutama sampah plastik. Penggunaan plastik sekali pakai dikurangi dengan menggantinya dengan wadah yang bisa dipakai berulang.
Oleh
IQBAL BASYARI/AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Warga Kota Surabaya terus menggalakkan gaya hidup bebas sampah, terutama sampah plastik. Penggunaan plastik sekali pakai dikurangi dengan menggantinya dengan wadah yang bisa dipakai secara berulang.
Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Surabaya, setiap hari, sampah yang dihasilkan dari sekitar 3,34 juta warga Surabaya diperkirakan sekitar 1.336 ton. Sampah plastik menempati urutan kedua terbanyak dengan persentase 19 persen, di bawah sampah organik sebanyak 54 persen.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Rabu (3/7/2019), di Surabaya, mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus mengurangi penggunaan botol plastik sekali pakai dalam setiap acara pemerintahan. Suguhan minuman untuk acara diganti menggunakan gelas, bukan lagi air minum dalam kemasan. ”Saya juga memberi contoh dan mengajak semua karyawan Pemkot Surabaya menggunakan botol minum isi ulang, jangan beli minuman dalam botol sekali pakai,” katanya.
Setiap hari, Risma selalu membawa botol minum di berbagai acara. Dia tidak lagi membawa air minum dalam kemasan karena bisa berkontribusi menyumbang timbulan sampah plastik di Surabaya. Setiap hari, setidaknya Risma membutuhkan air putih hingga 2 liter.
Saya juga memberi contoh dan mengajak semua karyawan Pemkot Surabaya menggunakan botol minum isi ulang, jangan beli minuman dalam botol sekali pakai.
Dalam tataran kebijakan, lanjut Risma, Pemkot Surabaya sudah mengeluarkan surat edaran pengurangan penggunaan tas kresek (kantong plastik) untuk berbelanja di pasar. Warga diimbau membawa tas sendiri dari rumah saat berbelanja. ”Kalau di swalayan, pakai kresek harus bayar. Sementara pedagang di pasar masih memberikan kresek secara gratis,” ujarnya.
Menghindari
Pegiat Lingkungan dari Tunas Hijau, Mochamad Zamroni, mengatakan, pelajar dari tingkat SD hingga SMA di Surabaya dibiasakan untuk menghindari penggunaan plastik sekali pakai. Siswa yang membawa bekal makanan dan minuman dilarang menggunakan bungkus dari plastik sekali pakai. Mereka harus menggunakan botol minuman dan tempat bekal makanan ke sekolah.
Tidak hanya di sekolah, kampus di Surabaya juga menggelorakan pengurangan sampah plastik. Di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, kata Sekretaris ITS Agnes Tuti Rumiati, pihaknya menyiapkan surat edaran pengurangan sampah plastik.
Salah satu yang dilakukan yaitu mengurangi penggunaan air minum dalam kemasan dan menggantinya dengan air galon isi ulang dalam setiap kegiatan. ITS yang memiliki lini bisnis air minum, ITS Mine, akan meminta seluruh sivitas akademika menggunakan air minum isi ulang, bukan lagi air minum dalam kemasan botol.
”Untuk saat ini, mungkin kami tidak akan memberatkan unit-unit untuk menyediakan gelas yang seragam, tetapi nantinya akan diusahakan gelas yang disediakan dapat diseragamkan karena bisa menjadi ciri dari ITS,” ucap Agnes.
Kaum perempuan juga mulai menggunakan tas atau keranjang belanja untuk mengurangi pemakaian kresek. ”Sumber kresek paling besar, ya, di pasar. Sebab, hampir semua barang yang dibeli konsumen dibungkus menggunakan kresek dan gratis. Jadi, tiap belanja paling tidak ada 10 kresek dari belanjaan,” kata Wenny (47), ibu rumah tangga yang hampir setiap hari belanja di pasar di sekitar perumahannya di Gunung Anyar, Surabaya.
Diet ”kresek”
Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya Hermawan Some mengatakan, dalam rangka memperingati Hari Tanpa Kantong Plastik Internasional, aktivis lingkungan ini mengirim surat terbuka untuk Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Isi suratnya, aktivis pencinta lingkungan ini berharap seluruh warga Jatim bisa
”puasa” memakai tas kresek. ”Kami berharap hari ini bisa menjadi momentum Jatim untuk menjadi provinsi diet tas kresek. Pemakaian tas kresek dari tahun ke tahun terus meningkat,” katanya.
Berdasarkan riset dari Greeneration Indonesia (2010), satu orang di Indonesia membuang 700 tas kresek per tahun. Jika jumlah penduduk Jatim mencapai 39,29 juta (2017), tas kresek yang dibuang mencapai 27.503.000.000 lembar.
”Berapa yang bisa didaur ulang atau pakai kembali. Memang tidak ada data yang jelas, tetapi menurut BPS, sampah plastik yang bisa didaur ulang kurang dari 10 persen. Berarti masih ada 25 miliar lembar tas kresek yang tidak bisa didaur ulang,” ujarnya.
Padahal, kata Hermawan, Khofifah ketika baru dilantik pada Februari lalu langsung terjun ke sungai untuk membersihkan Kali Surabaya dari
sampah popok sekali pakai. Gerakan itu hanya sekali, padahal janjinya membersihkan sampah di sungai secara rutin setiap pekan.
Berapa yang bisa didaur ulang atau pakai kembali. Memang tidak ada data yang jelas, tetapi menurut BPS, sampah plastik yang bisa didaur ulang kurang dari 10 persen. Berarti masih ada 25 miliar lembar tas kresek yang tidak bisa didaur ulang.
Selama di sungai, muara, atau di laut, sampah kresek itu akan memberi dampak negatif bagi lingkungan. Jutaan biota mati karena terjerat atau menelan sampah plastik. Ribuan anak mangrove yang ditanam di Pantai Timur
Surabaya mati karena terlilit sampah kresek. Lumpur atau pasirnya tidak terlihat karena tertutup sampah kresek.
Melihat kondisi tersebut, menurut dia, Gubernur Jatim segera mengambil sikap untuk menjadikan Jatim sebagai Provinsi Diet Kresek. Apalagi sudah ada 19 negara yang mengeluarkan peraturan untuk melarang atau membatasi pemakaian kresek. Daerah yang membatasi pemakaian tas kresek antara lain Kota Banjarmasin, Balikpapan, Bogor, serta Denpasar dan Provinsi Bali.
Di Jatim bahkan beberapa daerah sudah mengeluarkan kebijakan untuk mempraktikkan diet tas kresek, seperti peraturan daerah (perda) pengolahan sampah di Kota Surabaya, Kota malang, Kabupaten Malang, dan Kabupaten
Lamongan, dan ada pasal yang mengatur tentang pembatasan kresek. Namun, peraturan pelaksanaannya belum dikeluarkan.