Masyarakat Bali mandiri dalam mengelola sumber daya air. Organisasi subak berjalan secara otonom sehingga pemerintah tidak perlu mengontrol atau mengarahkan. Kearifan lokal itu mampu bertahan dan berjalan selama 1.000 tahunan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Masyarakat Bali mandiri dalam mengelola sumber daya air. Organisasi subak berjalan secara otonom sehingga pemerintah tidak perlu mengontrol atau mengarahkan. Kearifan lokal dalam hal pengelolaan sumber daya air itu mampu bertahan dan berjalan selama 1.000 tahunan.
”Desa atau pemerintah daerah setempat tidak bisa ikut campur tangan dalam mengatur subak. Subak adalah organisasi sosial yang otonom,” kata pakar subak dari Universitas Udayana, Bali, I Wayan Windia, di sela-sela penelitian arkeologi ”Peradaban Bali dalam Pengelolaan Sumber Daya Air” yang digelar Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Badung, Bali, Selasa (2/7/2019).
Desa atau pemerintah daerah setempat tidak bisa ikut campur tangan dalam mengatur subak. Subak adalah organisasi sosial yang otonom.
Karena bersifat otonom, wilayah subak tidak dibatasi oleh teritori tertentu seperti halnya dusun, desa, dan kecamatan. Subak memiliki batas ekologis sesuai dengan karakter alam serta topografi wilayah.
”Wilayah subak mulai dari masuknya air dari saluran irigasi menuju ke sawah-sawah hingga ke daerah-daerah yang tak bisa ditanami. Wilayahnya melintasi batas-batas teritorial desa,” ucapnya.
Organisasi subak berada di bawah kepemimpinan seorang ketua atau kelian subak yang biasa disebut pekaseh. Keberhasilan subak banyak ditentukan oleh kepemimpinan pekaseh subak karena dialah yang mengatur irigasi pada saat kondisi air kritis, menetapkan hari baik untuk menanam tanaman tertentu (menentukan jadwal tanam dan pola tanam), dan merencanakan upacara tertentu (untuk mohon curahan hujan, memberantas hama dan penyakit tanaman, dan lain-lain).
Pada prinsipnya pengurus subak memimpin dan mengendalikan subak sesuai dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana, yaitu menjaga keseimbangan hidup antara manusia, lingkungan alam, dan Tuhan Yang Mahakuasa.
Antisipasi monopoli air
Seluruh subak di Bali memiliki kebijakan yang seragam, antara lain mewajibkan setiap anggota memiliki satu pintu masuk air dan satu pintu keluar air. Dari pintu keluar, air tidak boleh langsung masuk ke sawah lain, tetapi harus dialirkan dahulu ke saluran air agar semua anggota subak bisa saling memanfaatkan atau ”pinjam-meminjam” air.
”Dengan aturan ini, tidak ada praktik pencurian air, tidak ada petani yang memonopoli air,” kata Windia.
Kearifan lokal lain ditunjukkan dengan mempertahankan kelestarian alam di kawasan tangkapan air serta mata air (beji). Masyarakat Bali meyakini bahwa kelancaran irigasi di bagian hilir tergantung oleh alam yang terjaga di kawasan hulu. Sebagai bentuk penghormatan terhadap limpahan rahmat air dari Yang Kuasa, di setiap mata air selalu dibangun pura.
Peran serta masyarakat di kawasan hulu sungai tempat mata air-mata air berada mendapatkan perhatian dari para petani anggota subak di bagian bawah atau hilir sungai. Di Jatiluwih, Tabanan, organisasi subak menyisihkan dana penjualan tiket wisata sebesar 4 persen dari perolehan bagi hasil mereka kepada subak abian atau kelompok petani yang mengelola perkebunan di daerah tangkapan air bagian hulu.
Di Badung, dulu setiap anggota subak juga wajib memberikan hasil panen 3 kilogram setiap kali panen kepada Pura Taman Ayun yang menjadi pemasok air bagi 250 hektar kawasan subak di Badung. ”Sekitar 10 tahun lalu, tradisi itu sudah berhenti karena Pura Taman Ayun sudah mendapat bantuan dari pemerintah daerah,” kata Made, salah seorang anggota subak di Badung.
Dosen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor, Nana Mulyana, mengungkapkan, para petani Bali dengan kearifan lokalnya telah menerapkan payment for environmental services atau skema pembayaran untuk jasa lingkungan guna merehabilitasi daerah tangkapan air dan mewujudkan pengelolaan sumber air yang berkelanjutan. ”Pembayaran diberikan dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberian beras, uang, dan sebagainya,” ujarnya.
Kearifan lokal masyarakat Bali dalam hal pengelolaan sumber daya air memberikan pengaruh multidimensi. Menurut Nana, manfaat air sangat beragam bagi kehidupan, mulai dari pemenuhan air minum (2 liter per hari per orang), MCK (50-120 liter per kapita per hari), rekreasi dan wisata, pangan dan irigasi, pembangkit listrik, transportasi, hotel dan restoran, industri pengolahan, perikanan, hingga peternakan.
Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria menambahkan, kearifan lokal masyarakat Bali kuno dalam pengelolaan lingkungan fisik, hayati, ataupun lingkungan sosial mentradisi sampai kini dalam tatanan sistem sosial. Aspek religi yang tersirat dari keberadaan bangunan suci keagamaan, seperti candi dan petirtan di pinggiran sungai, mempunyai makna pelestarian kawasan daerah aliran sungai karena terkait pemeliharaan sumber air (kelebutan) serta kolam yang berfungsi juga sebagai sumur serapan, vegetasi, dan pemeliharaan sempadan sungai (bibih tukad).