Efektivitas Bansos Terhalang Rokok
JAKARTA, KOMPAS Pemberian bantuan sosial untuk kelompok keluarga berpendapatan rendah berkolerasi positif dengan meningkatnya konsumsi rokok pada kelompok ini. Kecenderungan ini akan mengurangi efektivitas program bantuan sosial, yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Studi terbaru yang dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI), bekerja sama dengan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menemukan adanya kenaikan jumlah perokok dan konsumsi rokok pada 30 persen masyarakat berpendapatan terendah.
"Prevalensi perokok pada kelompok itu kami temukan meningkat drastis, sekitar 1,5 persen poin dalam setahun. Sementara, mereka termasuk dalam 40 persen kelompok masyarakat dengan pendapatan terendah, yang berhak mendapatkan bantuan sosial," kata salah satu peneliti yang juga Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Teguh Dartanto di Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Studi dilakukan dengan menganalisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2016 dan 2017 yang merekam data sekitar 300.000 rumah tangga, serta data Indonesia Family Life Survei (IFLS) gelombang 4 dan 5 dengan jumlah responden sekitar 15.000 rumah tangga.
Teguh menjelaskan, keluarga penerima bantuan sosial (bansos) yang anggota keluarganya merokok memiliki konsumsi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat yang jauh lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bansos yang tidak merokok. Mereka juga memiliki anak di bawah 15 tahun yang memiliki capaian pendidikan dan kondisi kesehatan yang rendah, dibandingkan keluarga penerima bansos yang tidak merokok.
"Korelasi tertinggi terjadi pada penerima Program Keluarga Harapan (PKH). PKH yang dulu didistribusikan secara tunai meningkatkan pendapatan rumah tangga secara langsung sehingga rumah tangga dapat menggunakannya untuk membeli rokok," kata Teguh.
Hasil studi juga menunjukkan keluarga penerima PKH memiliki pengeluaran rokok Rp 3.660 per kapita per minggu atau 3,5 batang per kapita per minggu, lebih tinggi dibandingkan bukan penerima program bansos.
Manajer Program Pengendalian Tembakau Renny Nurhasana, mengatakan, temuan studi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan pentingnya pengendalian konsumsi rokok pada masyarakat terutama kalangan miskin dan rentan.
"Efektivitas bantuan sosial dalam pencapaian sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan akan semakin berkurang jika penerima bantuan tidak mengalokasikan uang tersebut untuk membeli kebutuhan utama keluarga," ujarnya.
Renny pun merekomendasikan beberapa solusi kepada pemerintah, seperti menjadikan kebiasaan merokok sebagai prasyarat tambahan bagi calon penerima bantuan sosial. Bisa juga melakukan monitoring, memberi insentif atau sanksi untuk mengontrol perilaku merokok.
Edukasi
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, masalah ini juga sudah menjadi perhatian Kementerian Sosial sebagai penyalur bantuan. Menurut catatannya, pada Januari 2019, 62 persen keluarga penerima PKH memiliki anggota keluarga perokok.
"Kami sangat tidak berharap sumber untuk pengeluaran rokok dari dana bantuan PKH. Untuk itu, kami akan memilih mengedepankan pola persuasif edukatif untuk mengarusutamakan kebutuhan yang esensial, daripada yang tidak seperti rokok ini," katanya.
Cara itu akan dilakukan dengan membuat modul penghentian merokok dan kesehatan lingkungan untuk mengisi program Family Development Session (FDS) untuk keluarga peserta PKH. Modul tambahan untuk program pembinaan, yang dilakukan oleh pendamping minimal sekali sebulan tersebut, diharapkan dapat diterapkan pada 2020.
"Lebih cepat lebih baik, agar bisa segera diterima penerima bantuan. Supaya ada efek yang signifikan, kita tidak hanya akan menambah materi, tapi juga merevisi peraturan Menteri Sosial," lanjutnya.
Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan. Revisi tersebut kemungkinan juga akan ditambahkan aturan sanksi untuk perilaku yang kontraproduktif dengan perubahan perilaku ke arah yang positif untuk peningkatan sumber daya manusia, seperti kebiasaan merokok.
Sementara itu, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas Vivi Yulaswati berharap, ke depan ada evaluasi mengenai dampak dari sistem penyaluran dan bentuk bantuan sosial.
"Mungkin ke depan, kita perlu pilah bansos seperti apa yang tepat untuk mencegah perilaku merokok ini. Sebagai contoh, misalnya penerima Program Indonesia Pintar sudah nontunai memakai tabungan. Kalau anak SD itu diserahkan ke orangtua. Tapi, kalau anak SMA merek pegang tabungan sendiri, ini yang takutnya disalahgunakan," ujarnya.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019, bentuk bantuan sosial sudah mulai beralih dari bantuan barang langsung menjadi nontunai. Pada RPJMN 2020-2024, sistem penyaluran bantuan akan lebih terjangkau dengan menggunakan agen bank hingga ponsel.
Sejauh ini, jumlah penerima manfaat bantuan sosial berupa PKH mencapai 10 juta kepala keluarga, Rastra 15,6 juta kepala keluarga, Kartu Indonesia Pintar 19,7 juta siswa dalam 15,6 juta kepala keluarga, Kartu Indonesia Sehat 96,8 juta jiwa dalam 24,7 juta kepala keluarga. Adapun nilai bantuan bervariasi dari Rp 23 ribu hingga sekitar Rp 300.000 per bulan per keluarga.
Harga rokok
Selain mengoptimalisasi penyaluran bantuan sosial, faktor harga juga dinilai peneliti studi dapat mengontrol perilaku merokok di masyarakat. Studi PKJS UI sebelumnya yang dipublikasikan pada 2018, hampir sebagian besar masyarakat menilai harga rokok saat ini masih tergolong wajar.
"Harga rokok saat ini masih terlalu murah. Padahal, satu persen kenaikan belanja rokok dapat meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar enam persen poin pada level rumah tangga," kata dia.
Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan Nasruddin Djoko mengatakan, pemerintah terus membahas pola untuk menaikkan cukai rokok dalam rangka menekan angka konsumsi rokok.
"Dalam tujuh tahun terakhir, kenaikan cukai rokok mengerek harga jual eceran rokok dari Rp 9.242 di 2011 menjadi Rp 16.863 di 2018," kata Nasruddin.
Nasruddin mengatakan, saat ini Kementerian Keuangan telah menyiapkan kajian terkait kenaikan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2020. Pembahasan tersebut telah dilakukan bersama beberapa kementerian dan lembaga dan akan diselesaikan di September 2019.
Tidak hanya menaikkan harga cukai rokok, Kementerian Keuangan juga terus berupaya mencegah peredaran rokok ilegal yang mungkin dijangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah.
"Rokok ilegal yang murah ini justru bahaya, karena nggak bayar cukai. Selama ini bea cukai juga telah berupaya mengurangi tingkat peredaran rokok ilegal ke angka 7 persen di 2018, dari 12 persen pada 2016. Ke depan, Menteri Keuangan menargetkan agar sampai 3 persen saja peredarannya," imbuhnya.