Warga mengeluhkan aktivitas penambangan pasir dan batu atau galian C di Sungai Gung, Desa Lebaksiu Kidul, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, yang merusak jalan, aliran sungai, dan saluran irigasi. Mereka berharap, pemerintah daerah menata aktivitas penambangan tersebut.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
SLAWI, KOMPAS — Warga mengeluhkan aktivitas penambangan pasir dan batu atau galian C di Sungai Gung, Desa Lebaksiu Kidul, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, yang merusak jalan, aliran sungai, dan saluran irigasi. Mereka berharap, pemerintah daerah menata aktivitas penambangan tersebut.
Rabu (3/7/2019), ratusan truk bermuatan pasir dan batu hilir mudik di sekitar Sungai Gung. Jalanan yang dilewati truk-truk tersebut sebagian besar berlubang dan menimbulkan debu. Di beberapa lokasi, aspal jalan juga terkelupas.
Menurut warga, aktivitas penambangan pasir dan batu di Sungai Gung berlangsung sejak sekitar sembilan tahun lalu. Awalnya, penambangan pasir dan batu di Sungai Gung bertujuan untuk menormalisasi sungai. Sekarang, penambangan tersebut dilakukan untuk keperluan bisnis.
Abdul Muis (45), warga Desa Lebaksiu Kidul, mengatakan, aktivitas penambangan telah menimbulkan kerusakan jalan, aliran sungai, dan saluran irigasi.
”Pengairan yang tersendat membuat lahan pertanian warga yang dulunya produktif sekarang kekeringan dan tidak produktif. Dari luas lahan pertanian sekitar 138 hektar, ada sekitar 50 hektar lahan yang tidak bisa ditanami lagi. Panen yang biasanya tiga kali setahun kini hanya dua kali,” tutur Abdul saat ditemui di Lebaksiu Kidul, Rabu siang.
Aktivitas penambangan telah menimbulkan kerusakan jalan, aliran sungai, dan saluran irigasi.
Ia mengatakan mengeluarkan modal sebesar Rp 18 juta untuk menanam palawija, tetapi hanya mendapat keuntungan Rp 3 juta saat panen. Padahal, sebelum saluran irigasi rusak, Abdul hanya perlu mengeluarkan modal sekitar Rp 4 juta untuk mendapatkan keuntungan hingga Rp 12 juta.
”Kami harus mengeluarkan biaya untuk membeli bahan bakar pompa air dan upah untuk pekerja yang bertugas menjaga pengairan. Setiap dua hari sekali, kami harus mengeluarkan uang sekitar Rp 150.000 untuk pengairan,” lanjut Abdul.
Mughi (55), petani lainnya, terpaksa berganti jenis tanaman karena lelah selalu berkonflik dengan sesama petani masalah irigasi. Dulunya dia adalah petani padi. Kini, Mughi menanami bekas lahan padinya dengan pohon sengon.
”Saya sudah malas bertengkar sama petani lain karena rebutan air. Saya memilih ganti menanam komoditas yang tidak memerlukan banyak air,” ujarnya.
Mughi mengatakan, hingga saat ini, masih sering terjadi pertikaian antarpetani akibat berebut air. Ia berharap, segera ada solusi untuk persoalan ini.
Pujiyanto (47), warga Desa Yamansari, Kecamatan Lebaksiu, menuturkan, dirinya dan warga terdampak lain sudah mengirimkan surat protes dan permohonan penertiban aktivitas penambangan kepada pemerintah. Namun, lanjutnya, belum ada respons dari pemerintah.
”Sejak dulu, kami sudah berkali-kali mengirimkan surat kepada pemerintah agar penambangan diatur dengan tegas. Terakhir kali, kami kirim surat protes kepada Pemprov Jateng tahun 2018,” ucap Pujiyanto.
Kepala Bidang Sungai, Bendungan, dan Pantai pada Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Tata Ruang Provinsi Jateng Eko Yunianto menyebutkan telah menegur petambang melalui Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Kabupaten Tegal serta melalui kepala desa setempat.
Tak hanya itu, pemerintah juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum seperti satuan polisi pamong praja dan kepolisian sektor setempat untuk menertibkan aktivitas penambangan.
”Sebenarnya kami juga belum pernah menerbitkan rekomendasi teknis terkait penambangan mineral nonlogam di Sungai Gung. Sebagai tugas pembinaan rutin, kami juga melakukan sosialisasi mengenai peraturan perundangan tentang sumber daya air,” ujar Eko.