Langkah mitigasi bencana perlu disiapkan untuk mengantisipasi bencana kekeringan dan kebakaran lahan yang berpotensi terjadi pada puncak musim kemarau mendatang.
PALEMBANG, KOMPAS Kemarau di sejumlah daerah diperkirakan mencapai puncak pada Agustus-September. Mitigasi bencana kekeringan perlu disiapkan sesuai dengan karakteristik wilayah.
Wilayah Sumatera Selatan diprediksi mengalami hari tanpa hujan hingga 11-20 hari ke depan. Bahkan, pada masa puncak kemarau, Agustus-September, diperkirakan tidak ada hujan sama sekali. Kondisi ini membuat potensi kebakaran lahan di Sumsel meningkat.
Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Palembang Nuga Putrantijo, Selasa (2/7/2019), mengatakan, ketiadaan hujan pada masa puncak kemarau akan berdampak pada keringnya lahan, termasuk di lahan gambut. Suhu udara juga meningkat dari semula 33 derajat celsius menjadi 36 derajat celsius. ”Akibat lahan yang kering, potensi kebakaran lahan juga semakin tinggi,” katanya.
Kemarau tahun ini pun diperkirakan lebih kering dibandingkan dengan tahun lalu. Hal itu karena angin muson membawa sedikit uap air.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Iriansyah mengatakan, upaya mengantisipasi kebakaran lahan disiapkan dengan menyiagakan 1.512 personel gabungan dari TNI/Polri, BPBD, dan masyarakat desa setempat.
Tim bertugas menyosialisasikan pencegahan kebakaran lahan dan melakukan pemadaman melalui darat. Adapun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga telah mengirimkan empat helikopter untuk pemantauan lewat udara.
Kebakaran lahan, menurut Iriansyah, sudah beberapa kali terjadi dalam minggu ini. Bahkan, di kawasan Indralaya, Ogan Ilir, dalam seminggu terakhir, 15 hektar lahan terbakar.
Dua juta warga
Di Jawa Tengah, sekitar 2 juta jiwa dari 1.319 desa di 287 kecamatan diprediksi terdampak kekeringan. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menginstruksikan BPBD, perusahaan daerah, dan dinas terkait menyiapkan cadangan air bagi masyarakat yang terdampak. Ganjar juga meminta pihak-pihak itu untuk membuka kanal aduan terkait kekeringan.
”Langkah pertama yang akan dilakukan adalah pengerahan seluruh BPBD di Jateng untuk menyiapkan 1.000 tangki air. Jika kurang, nanti perusahaan-perusahaan daerah didorong menyiapkan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terkait (upaya mengatasi) kekeringan,” kata Ganjar dalam rilisnya, kemarin.
Ganjar mengimbau seluruh dinas pertanian dan dinas kesehatan memetakan daerah pertanian yang terdampak kekeringan serta dampak kesehatan apa saja yang berpotensi menyerang warga. ”Petanya sudah jelas karena setiap tahun terjadi. Sebenarnya tinggal (disiapkan) pola antisipasi sehingga tidak menjadi hal baru,” katanya.
Di Nusa Tenggara Barat, sedikitnya 549.011 jiwa dari 137.959 keluarga terdampak kekeringan. Warga yang terdampak itu tersebar di 68 kecamatan dan 298 desa.
”Jumlah (warga terdampak kekeringan) tersebut merupakan data sementara yang kami terima dari setiap kabupaten-kota. Kami perkirakan bisa bertambah (seiring puncak kemarau pada Agustus),” kata Kepala BPBD NTB Ahsanul Khalik di Mataram, NTB
Ahsanul menyatakan, pihaknya bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia dalam distribusi bantuan air bersih. Ada 20 mobil tangki milik PMI yang siap digunakan.
Sementara itu, Mulyadi, warga Dusun Pae, Desa Pemongkong, Lombok Timur, turut terdampak kekeringan. Untuk kebutuhan air bersih, ia dan warga lain membeli Rp 150.000-Rp 250.000 per tangki berkapasitas 5.000 liter atau Rp 5.000-Rp 7.000 per jeriken 25-40 liter.(RAM/XTI/RUL)