JAKARTA, KOMPAS — Sumber daya manusia dan anggaran serta kerja sama dan hubungan eksternal dinilai menjadi agenda mendatang bagi para pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi ke depan. Untuk itu, pemimpin dengan sosok berintegritas mutlak diperlukan.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menyampaikan, dari sisi sumber daya manusia, pimpinan KPK harus diisi oleh orang-orang yang berkomitmen dalam memberantas korupsi, bukan hanya sekadar visi. Selain itu, pimpinan KPK harus memahami isu yang sedang berkembang.
”Dalam mengatasi kasus korupsi, pimpinan KPK harus memiliki kemampuan konsolidasi internal dengan para pegawai KPK. Dengan begitu, penting juga mengisi KPK dengan pegawai-pegawai yang memiliki keahlian secara spesifik mengingat kasus korupsi yang semakin kompleks,” ujar Dadang di Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Dadang menegaskan bahwa yang terpenting di atas semua kriteria yang ada yaitu integritas. Sebab, para pemimpin KPK akan menghadapi tuntutan yang lebih tinggi dibandingkan menjadi pemimpin di institusi lain.
Sebagai catatan, pendaftaran calon pimpinan (capim) KPK dimulai sejak 17 Juni. Hingga Rabu (3/7/2019) sore, sudah 194 orang yang mendaftar untuk mengikuti seleksi capim KPK. Berdasarkan data Panitia Seleksi Capim KPK, dari 194 pendaftar, baru 64 orang yang menyerahkan berkas persyaratan lengkap.
Dari latar belakang, 40 pendaftar merupakan akademisi, 43 advokat atau konsultan hukum, 18 orang dari korporasi, 13 jaksa atau hakim, 8 anggota Polri, 3 auditor, 2 komisioner atau pegawai KPK, dan sisanya berlatar belakang lain.
Selain itu, agenda penting lain yaitu soal anggaran. Proporsi anggaran KPK terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih minim, yaitu berkisar di 0,0001 persen dari APBN. Sementara lembaga antikorupsi di dunia memiliki 0,1 persen dari APBN.
Dari data KPK, seluruh kegiatan KPK pada 2018 dilakukan menggunakan anggaran yang berasal dari APBN murni, yaitu sebesar Rp 854,2 miliar. Penyerapan anggaran pada tahun lalu mencapai Rp 744,7 miliar atau sekitar 87,2 persen.
”Meski KPK dapat dikatakan cukup dalam hal anggaran, penting ke depan untuk melibatkan pimpinan DPR guna mengkaji peluang 0,1 persen bisa tercapai. Dengan demikian, ada kemungkinan pembentukan KPK di level daerah,” kata peneliti TII, Alvin Nicola.
Bukan pemulihan aset
Hasil penelitian evaluasi kinerja KPK 2019 oleh TII mendapati bahwa masih ada 18 tunggakan kasus megakorupsi yang belum diselesaikan. Dadang mengatakan, penanganan korupsi pun masih didominasi pemenjaraan, bukan pemulihan aset negara.
Menurut Dadang, selama ini kita hanya sibuk di penghukuman dalam arti pemidanaan, bukan pemulihan aset ataupun pencegahan. ”Untuk itu, strategi dan manajemen perkara perlu dibenahi di tengah banyaknya jumlah kasus,” katanya.
Penasihat KPK, Budi Santoso, mengatakan, pemberantasan korupsi membutuhkan kerja sama dengan seluruh elemen bangsa. Misalnya dengan organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, serta Kantor Staf Presiden.
”Melalui adanya kerja sama antarinstitusi, maka ketika ada kasus korupsi yang tengah ditangani KPK, alat uji akan menjadi lebih mudah,” kata Budi.
Budi menyampaikan bahwa segala agenda ini menjadi catatan penting bagi KPK. ”Agenda ini akan saya bawa dan sampaikan kepada para pemimpin KPK baru yang akan menjadi dirigen 4 tahun ke depan,” ujarnya.