TEL AVIV, RABU -- Israel bersiap terlibat perang yang mungkin meletus di Timur Tengah gara-gara konflik Amerika Serikat dan sekutunya melawan Iran.
”Semua kesalahan Iran harus diperhitungkan karena dapat menyebabkan perubahan dari zona abu-abu ke zona merah, maka itu perang. Kita harus bersiap untuk ini dan karena itu Israel terus menyiagakan tentaranya untuk menanggapi skenario peningkatan ketegangan,” tutur Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, Selasa (2/7/2019) malam waktu Tel Aviv atau Rabu dini hari WIB.
Israel sudah lama menyatakan akan menyerang Iran lebih dulu demi mencegah Teheran menguasai persenjataan nuklir. Pernyataan Katz pada Selasa malam berkebalikan dengan pernyataannya pada Selasa pagi. Awalnya, ia meyakini Iran akan kembali berunding setelah terus ditekan AS.
”Iran tidak punya kesempatan di perang ini. Karena itu, ada kesempatan melalui tekanan ekonomi dan sanksi komprehensif untuk mencegah perang guna mencapai tujuan tanpa perang,” kata Katz.
Iran dan AS kembali bersitegang sejak Washington memutuskan keluar dari kesepakatan nuklir (JCPOA) yang disepakati dengan lima negara besar lainnya (China, Inggris, Jerman, Perancis, dan Rusia) pada 2015. Alih-alih mengurangi sanksi sebagaimana disepakati di JCPOA, AS malah keluar dari kesepakatan itu dan kemudian menambah sanksi kepada Iran.
Presiden AS Donald Trump beralasan, Teheran tidak menjalankan kewajiban sesuai JCPOA. Sebab, AS mengklaim punya bukti Teheran mengembangkan persenjataan nuklir.
Iran menolak klaim tersebut. Apalagi, saat itu Badan Energi Atom Internasional (IAEA)— yang mengawasi komitmen dan pelaksanaan JCPOA—berulang kali menyatakan bahwa Iran selalu mematuhi kesepakatan.
Kami akan menambah (level pengayaan uranium itu) di atas 3,67 persen hingga sebanyak yang kami inginkan, sebanyak yang diperlukan, sebanyak yang kami butuhkan.
Baru pada awal pekan ini, Iran mengumumkan melewati batas pengayaan uranium rendah yang ditetapkan dalam JCPOA. Langkah itu diambil Iran setelah tidak mendapat jaminan dari negara penandatanganan JCPOA lainnya, khususnya dari Eropa, bahwa tekanan ekonomi pada Iran bakal bisa diredakan jika Teheran tetap mematuhi JCPOA.
"Pada 7 Juli, level pengayaan (uranium) kami tak lagi pada 3,67 persen. Kami akan mengesampingkan komitmen ini. Kami akan menambah (level pengayaan uranium itu) di atas 3,67 persen hingga sebanyak yang kami inginkan, sebanyak yang diperlukan, sebanyak yang kami butuhkan," kata Presiden Iran Hassan Rouhani dalam sidang kabinet, Rabu (3/7/2019).
Peran Mossad
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, tim bentukan badan intelijen Israel, Mossad, melakukan operasi rahasia di Teheran pada 2018. Operasi itu untuk mendapatkan dokumen-dokumen aktivitas nuklir Iran.
Hasil operasi intelijen itu dijadikan Trump sebagai alasan untuk keluar dari JCPOA pada Mei 2018. Trump menuding Teheran menyalahi kesepakatan karena mengembangkan senjata nuklir. Iran berkeras penelitian nuklirnya untuk kepentingan sipil, dan bukan untuk membuat senjata.
Direktur Mossad Joseph Cohen menyebut operasi itu melibatkan ratusan orang lain.
Netanyahu mengatakan, operasi intelijen itu didiskusikannya dengan Trump pada Januari 2018.
”Dia bertanya apakah (operasi) itu berbahaya. Saya jawab, tentu ada bahaya yang tidak bisa diabaikan. Akan tetapi, hasilnya sepadan,” ujarnya.
Trump dinyatakan puas dan mengapresiasi hasil operasi itu itu. ”Saya yakin (temuan) ini membantu memvalidasi keputusannya mundur dari kesepakatan berbahaya itu,” ujar Netanyahu.
Mossad tidak menampik operasi itu dan menyebutnya dilakukan pada Februari 2018. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang cara membawa banyak dokumen itu dari Iran ke Israel. Dokumennya dinyatakan sangat banyak.
Atas keberhasilan itu, Netanyahu menganugerahkan penghargaan kepada enam agen Mossad yang memimpin operasi itu. Direktur Mossad Joseph Cohen menyebut operasi itu melibatkan ratusan orang lain. (AFP/REUTERS)