Kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak baru mendesak dilakukan. Sebab, selain kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, penemuan cadangan baru juga akan mengurangi tekanan terhadap defisit perdagangan akibat impor minyak.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak baru mendesak dilakukan. Sebab, selain kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, penemuan cadangan baru juga akan mengurangi tekanan terhadap defisit perdagangan akibat impor minyak.
Hal itu terungkap dalam diskusi ”Eksplorasi Tanpa Investasi Migas?”, Rabu (3/7/2019), di Jakarta.
Dalam diskusi itu, pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, berpandangan, kendati energi baru terbarukan terus dikembangkan, bukan berarti energi fosil akan langsung hilang atau tidak diperlukan. ”Investasi itu kunci. Kita punya sumber besar. Akan tetapi, tanpa investasi, tetap jadi sumber, tidak bisa jadi cadangan. Kalau cadangan ditemukan, akan ada investasi berikutnya agar bisa diproduksi,” katanya.
Pri Agung menambahkan, penurunan produksi terjadi dalam dua dekade terakhir. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya cadangan minyak dalam skala besar, seperti Blok Cepu, Masela, dan Tangguh. Cadangan yang ditemukan kecil dan bersifat menambal sehingga produksi minyak Indonesia tidak turun drastis.
Tahun lalu, realisasi produksi siap jual (lifting) minyak 778.000 barel per hari. Sementara konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional 1,5 juta barel per hari. Investasi hulu minyak dan gas bumi pada 2018 sebesar 12,5 miliar dollar AS, lebih tinggi daripada 2017 yang sebesar 11 miliar dollar AS.
Jika ada ladang minyak baru, impor minyak untuk memenuhi konsumsi BBM dalam negeri bisa ditekan. Hal ini juga berarti menekan defisit transaksi berjalan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Mei 2019 defisit 2,141 miliar dollar AS. Sementara berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada triwulan I-2019 sebesar 2,6 persen produk domestik bruto.
Menurut Pri Agung, untuk mendorong kegiatan eksplorasi diperlukan kontrak yang lebih fleksibel. Caranya, dengan menggabungkan konsep kontrak cost recovery dengan konsep gross split. Jika investor tidak menghendaki skema gross split, pemerintah tetap membuka ruang untuk negosiasi.
”Kita tidak dalam posisi sepenuhnya bisa bebas memilih. Kalau kaku, ya, investasi sendiri. Kalau tidak mau kaku, ya, mesti menguntungkan semua,” ujarnya.
Praktisi migas Tumbur Parlindungan mengatakan, potensi minyak di Indonesia yang besar hanya bisa dibuktikan dengan kegiatan eksplorasi. Namun, kegiatan eksplorasi tersebut tidak murah. Selain itu, ada kemungkinan tidak ditemukan cadangan minyak (dry hole). Proses dari penemuan sampai produksi juga memakan waktu yang lama.
”Kita butuh investor karena mengebor untuk eksplorasi tidak murah. Ketika eksplorasi menemukan cadangan minyak, investasi akan datang terus. Bandingkan dengan Blok Masela yang ditemukan sejak 2000 dan sampai sekarang masih harus investasi,” kata Tumbur.
Untuk menarik kegiatan eksplorasi, lanjutnya, pemerintah mesti mempermudah investor. Salah satu kemudahan yang dibutuhkan investor adalah kepastian hukum dari kontrak yang telah ditandatangani dengan pemerintah.
Menurut dia, perizinan yang banyak bukan masalah karena di negara lain juga demikian. Namun, yang diperlukan investor adalah jadwal yang pasti. Jika waktu yang diperlukan jelas, investor dapat merencanakan kegiatan eksplorasi dengan baik.