Tidak adanya sinergi semua lembaga terkait pendidikan dan perbedaan visi jadi penyebab penerapan kebijakan di lapangan sering melenceng dari tujuan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu duduk bersama menyatukan visi pendidikan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak adanya sinergi di antara semua lembaga terkait pendidikan dan perbedaan visi merupakan penyebab penerapan kebijakan di lapangan sering melenceng dari tujuan. Pemerintah pusat yang membuat kebijakan idealis dan pemerintah daerah yang masih mengedepankan keamanan politik sektoral perlu duduk bersama menyatukan visi pendidikan.
Hal tersebut merupakan tema yang dibahas dalam temu Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbang Kemdikbud) di Jakarta, Rabu (3/7/2019). Ada 24 kementerian/lembaga negara yang terkait dengan pendidikan, antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Agama.
”Kemdikbud mengeluarkan delapan standar pendidikan dan Kemendagri mempunyai standar pelayanan minimal. Namun, belum ditelusuri apakah kebijakan pemerintah tersebut saling mengisi atau malah bertentangan,” kata Kepala Balitbang Kemdikbud Totok Suprayitno.
Ia mengatakan, meski pendidikan sudah masuk dalam otonomi daerah sejak tahun 2001, setiap langkahnya masih menanti aturan formal dari pemerintah pusat berupa peraturan menteri, peraturan presiden, ataupun peraturan pemerintah. Padahal, pendidikan membutuhkan pendekatan formal sekaligus fleksibel mengingat setiap wilayah memiliki spesifikasi masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan aturan sapu jagat.
”Guru adalah profesional yang punya otonomi dalam mengajar. Pemerintah menyediakan standar, tetapi penerapannya bisa dikembangkan sesuai kreativitas dan kebutuhan. Mutu pemelajaran modalnya adalah penguasaan substansi pelajaran dan pedagogi,” ujarnya. Dalam pembuatan silabus, rencana pemelajaran, dan praktik mengajar, guru hendaknya leluasa bertindak.
Guru adalah profesional yang punya otonomi dalam mengajar. Pemerintah menyediakan standar, tetapi penerapannya bisa dikembangkan sesuai kreativitas dan kebutuhan.
Belum substantif
Permasalahan mendasar yang ada di lapangan adalah belum mendalamnya kompetensi yang substantif. Peneliti dari Lembaga Riset Smeru untuk Program Rise (Penelitian untuk Meningkatkan Sistem Pendidikan), Niken Rarasati, menjelaskan, hal ini merupakan fenomena mimikri isomorfik. Artinya, dari permukaan segalanya tampak aktif, tetapi kontennya tidak mengembangkan pemahaman dan pemikiran kritis.
”Penyebabnya adalah belum ada tolok ukur yang tepat terkait penerapan kebijakan di lapangan. Kompetensi guru, pengawas, ataupun aparat pemerintah daerah belum sepenuhnya mumpuni untuk memahaminya,” ucapnya.
Contohnya, dalam ruangan kelas, suasana selalu semarak. Siswa SD selalu menyanyi dan menari. Untuk di kelas yang jenjangnya lebih tinggi, siswa rajin mengangkat tangan guna menjawab pertanyaan dari guru.
Namun, jika dicermati, materi yang diajarkan dan pertanyaan yang dilontarkan guru tidak substantif. Levelnya masih di permukaan, belum mengembangkan pola pikir kritis da mengajarkan kompetensi yang dibutuhkan siswa untuk mengembangkan potensinya.
”Sama dengan program penguatan pendidikan karakter yang dimaknai dengan menambah jumlah ritual keagamaan di sekolah dan program sekolah adiwiyata dimaknai sebatas gerakan penghijauan lingkungan. Bukannya mengembangkan pola pikir dan jiwa berkebangsaan yang kritis,” kata Niken.
Demikian pula dengan model pelatihan guru yang lama. Mereka hanya berkumpul untuk berdiskusi hal-hal yang tidak terkait langsung dengan peningkatan mutu pemelajaran. Hal ini yang membuat walaupun guru dan siswa sibuk bekerja dan belajar, mutu pendidikan tidak meningkat. Ini ibarat mobil sudah lengkap komponennya, berpenumpang, dan berpengemudi, tetapi tidak bisa berjalan.
Inisiatif daerah
Manajer Kegiatan Program Asistensi Teknis Peningkatan Mutu Pendidikan (TASS) Inggar Vistara mengatakan, inisiatif pemda untuk berubah juga variatif. Ada yang memiliki kemauan untuk membenahi sistem pendidikan dan kebijakan terkait ketika diberi tahu titik permasalahan dan solusi efektif. Akan tetapi, ada pula yang memilih berpangku tangan apabila solusi yang diusulkan, walaupun benar, tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
”Kemdikbud dan kementerian terkait harus ingat bahwa mereka adalah lembaga yang berpikiran ideal. Akan tetapi, situasi politik di daerah bisa mengakibatkan pemda tidak mengambil tindakan apabila tidak sesuai dengan selera pendukungnya. Pemda ini bukan obyek, melainkan klien dan rekan yang harus diajak duduk bersama merumuskan kebijakan,” ujarnya.