Ancaman banjir pesisir di pantai utara Jawa adalah ancaman nyata yang tak terhindarkan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika membuat sistem Ina-CIFS untuk menurunkan risiko dan dampak bencana akibat banjir pesisir dengan memasukkan data sungai dan topografi.
Dari tahun 2017 hingga 2019, setiap tahun muncul banyak pemberitaan dan tulisan di media tentang “Jakarta Tenggelam”, atau dengan judul “Jakarta, the fastest-sinking city in the world” (Jakarta Kota yang Tenggelam Tercepat di Dunia). Tahun ini, semakin banyak kota di pantai utara Jawa menderita banjir pesisir yang parah. Jakarta dan Pekalongan diberitakan bakal tenggelam satu atau dua dekade lagi.
Jika ditilik dari proses pembentukan pulau Jawa, sulit mengharapkan pantai utara Jawa bebas dari banjir pesisir (coastal inundation). Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo Setiyo Pranowo menjelaskan, pantai utara Jawa merupakan daratan yang terbentuk dari sedimentasi. “Endapannya amat muda, sehingga mudah turun dan mudah terabrasi,” ujarnya.
Kawasan dengan kerentanan tinggi di utara Jawa mulai dari Banten hingga Pekalongan. Beberapa lainnya yaitu pesisir Sumatera Selatan, Pontianak, Makasar, Kalimantan Selatan, dan pesisir selatan Papua.
Parameter fisik yang memengaruhi kerentanan pantai yaitu kemiringan pantai, perbedaan pasang naik dan pasang surut, tinggi gelombang laut yang signifikan, kenaikan muka air laut relatif akibat perubahan iklim, gelombang akibat angin, tipe pasut yaitu diurnal (sekali pasang-surut dalam 24 jam) atau semi-diurnal (dua kali pasang-surut dalam 24 jam) atau campuran, geomorfologi pantai, serta laju erosi dan akresi.
Semua aspek
Kini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengembangkan sistem peringatan dini banjir pesisir, Indonesia Coastal Inundation Forecasting System (Ina-CIFS) yang peluncuran awalnya dilakukan April lalu. Sistem tersebut mengadopsi konsep Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang melakukan prediksi banjir pesisir dengan memperhitungkan air dari hulu atau darat. Dalam sistem ini aspek-aspek astronomi, hidrologi, dan meteorologi dimasukkan.
“Biasanya hanya memperhitungkan banjir dari pengaruh pasang surut dari astronomi, akibat gravitasi. Tapi di sini kita masukkan pengaruh atmosfer, lautnya. Misal ada badai di laut itu kan berpengaruh, bisa menimbulkan gelombang tinggi atau hujan besar. Juga pengaruh banjir di darat. Kan sungai bermuara ke laut. Kita gabungkan itu semua dalam Ina-CIFS,” kata Kepala Pusat Litbang Meteorologi Maritim BMKG, Nelly Florida.
“Sistem ini bisa mengidentifikasi apakah itu dari rob saja, misalkan di darat kering namun di pantai tergenang,” kata Kasubid Layanan Informasi Meteorologi Maritim BMKG Andri Ramdhani, Rabu (3/7/2019) di Jakarta. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) adalah data terkait sungai dan aliran sungai. Sementara Badan Informasi Geospasial (BIG) menyediakan data tinggi muka air laut, BMKG data angin, curah hujan, dan yang terkait atmosfer.
Ina-CIFS dikembangkan BMKG bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta dan Semarang.
Data yang dipakai yaitu dari astronomi (data pasut), meteorologi (data angin, gelombang laut, dan curah hujan), serta hidrologi (sungai). Data pasut bisa digunakan dalam jangka satu tahun, dan data meteorologi sekitar 7-10 hari ke depan. Cara kerja pembuatan Ina-CIFS bisa dicontoh karena pelibatan semua pihak terkait, sesuai semangat Kerangka Kerja Sendai atau Sendai Framework tentang pengurangan risiko bencana.
“Saat ini baru Jakarta dan Semarang yang siap dengan data-data ketinggian muka air laut, hingga per 10 menit. Semarang belum ada data sungai sehingga baru bisa antisipasi rob saja,” kata Andri.
Saat ini baru Jakarta dan Semarang yang siap dengan data-data ketinggian muka air laut, hingga per 10 menit. Semarang belum ada data sungai sehingga baru bisa antisipasi rob saja.
Saat ini Ina-CIFS baru bisa menyediakan data berkala (time series), untuk prediksi setiap jam. “Data dari BIG baru tahun 2011-2012, belum data terbaru sehingga belum bisa menyediakan rinci prediksi spasial. Kami sedang melakukan koreksinya di BMKG,” kata Andri.
Hasil dari Ina-CIFS berupa prediksi untuk tiga hari ke depan dalam data tematik: yaitu kondisi aman, waspada, dan siaga. Belum berupa angka ketinggian banjir.
Pengembangan model mendatang akan memasukkan data profil tanah, penurunan dan kenaikan tanah. Data-data fisik permukaan misalnya terkait bangunan atau tanggul juga belum ada.
“Penurunan tanah akan membuat daerah semakin sensitif dengan curah hujan. Curah hujan dengan jumlah sama, dulu tidak banjir sekarang bisa banjir,” tambah Andri. Harapannya, Ina-CIFS siap diimplementasikan akhir tahun ini sehingga tak perlu banyak orang menjadi korban. Ini menjadi titik awal dalam upaya mengurangi korban bencana banjir pesisir.