Alat Pengukur Kualitas Udara di Jakarta Masih Kurang
›
Alat Pengukur Kualitas Udara...
Iklan
Alat Pengukur Kualitas Udara di Jakarta Masih Kurang
Jumlah alat pengukur kualitas udara di DKI Jakarta masih jauh dari ideal. Hasil pantauan udara tak seakurat yang diharapkan. Sumber polusi pun menjadi semakin sulit dilacak.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah alat pengukur kualitas udara di DKI Jakarta masih jauh dari ideal. Hasil pantauan udara tak seakurat yang diharapkan. Sumber polusi pun menjadi semakin sulit dilacak.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih di Jakarta, Jumat (5/7/2019), mengatakan, saat ini DKI Jakarta hanya memiliki delapan alat pengukur kualitas udara. Jumlah itu disebut belum ideal mewakili wilayah Ibu Kota yang seluas 660 kilometer persegi.
”Kita harus tambah (alat pengukur udara) supaya kita bisa mengetahui sumber polusi lebih akurat, daerah-daerah mana yang pekat dan daerah mana yang bagus. Sekarang, kan, belum semua tiplogi wilayah terwakili. Kan, kurang tepat,” ujar Andono.
Delapan alat pengukur kualitas udara milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi dua, yaitu lima perangkat permanen (fixed station) dan tiga perangkat bergerak (mobile station). Kedelapan alat pengukur tersebut memiliki tingkat partikel debu atau particulate matter (PM) 10.
Adapun lima alat pengukur permanen tersebar di seluruh wilayah administrasi Jakarta, yaitu di Bundaran Hotel Indonesia (Jakarta Pusat), Kelapa Gading (Jakarta Utara), Jagakarsa (Jakarta Selatan), Lubang Buaya (Jakarta Timur), dan Kebon Jeruk (Jakarta Barat). ”Kalau yang (alat pengukur) mobile, itu penggunaannya berpindah-pindah, khususnya untuk melayani kalau ada pergelaran car free day (hari bebas kendaraan bermotor) di wilayah tertentu,” kata Andono.
Andono menjelaskan, jika ingin mengetahui secara akurat tingkat polusi di Jakarta, jumlah alat pengukurnya juga harus ditambah. Dia menyebutkan, ada dua pendekatan untuk mendapatkan jumlah ideal itu.
Pertama, berdasarkan jumlah penduduk, seharusnya setiap satu juta penduduk dikalikan satu alat pengukur kualitas udara. Jadi, dengan total sekitar 13 juta penduduk Jakarta, alat pengukur yang dibutuhkan adalah 13 buah.
Kedua adalah melalui pendekatan luas wilayah. Seharusnya, alat pengukur kualitas udara ada di setiap 25 kilometer persegi. Dengan demikian, dengan luas Jakarta sekitar 660 km persegi, maka total alat pengukur yang diperlukan sebanyak 26 buah. ”Kalau kita punya jumlah alat pengukur yang ideal, tentu pemerintah juga akan lebih tepat dalam mengambil keputusan,” kata Andono.
Secara terpisah, Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menilai, persoalan kekurangan alat pengukur kualitas udara menunjukkan pemerintah belum memberikan prioritas pada penurunan polusi udara di Ibu Kota. Padahal, pencemaran udara itu semakin memprihatinkan. ”Masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh terkait tingkat polusi udara di Jakarta yang semakin parah. Tak pernah ada peringatan,” ujar Bondan.
Padahal, dengan penambahan alat pengukur kualitas udara, lanjut Bondan, pemerintah juga dapat melacak sumber polusi. Jadi, pemerintah tak hanya secara pasif mendorong masyarakat untuk beralih transportasi. ”Pemprov DKI juga bisa aktif meminimalkan pencemaran udara dengan mengatasi langsung dari sumbernya,” katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang saat dimintai tanggapan terkait hal itu, di Balai Kota Jakarta, berencana menambah alat pengukur kualitas udara pada tahun ini. Sebab, dia mengakui bahwa alat pengukur yang ada masih sangat minim.
”Jadi, salah satu langkah yang akan kami kerjakan adalah memiliki alat ukur kualitas udara secara lebih banyak sehingga kami bisa menjangkau lebih luas lagi. Karena hari ini, kalau kami ditanya soal kualitas udara buruk, kami hanya bisa menentukan paling 10 titik,” tutur Anies.
Andono membenarkan bahwa pada tahun ini Pemprov DKI akan membeli alat pengukur udara dengan tingkat PM 2,5 sebanyak 2 buah.